Peristiwa
isra’ dan mi’raj adalah salah satu peristiwa besar dalam sejarah hidup
Rasulullah ﷺ dan merupakan salah satu mukjizat terbesarnya yang telah
diabadikan Allah dalam Kitab-Nya,
سُبْحَانَ
الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلا مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى
الْمَسْجِدِ الأقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ
آيَاتِنَا إِنَّه هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
“Maha
suci Allah yang telah memperjalankan hambaNya pada suatu malam dari
al-Masjid al-Haram ke al-Masjid al-Aqsha yang telah Kami berkahi
sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda
(kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha
Melihat.” (QS. Al-Isra’ ayat 1)
Tentunya banyak pelajaran dan hikmah yang bisa didapatkan seorang mukmin dari peristiwa tersebut, diantaranya adalah,
- Mengenalkan keutamaan al-Masjid al-Aqsha, negeri para nabi dan tempat diperjalankannya Rasul ﷺ pada malam mi’rajnya.
- Menjelaskan tentang kedudukan dan keagungan Rasulullah ﷺ, dimana Allah telah mengangkatnya ke tempat yang sangat tinggi dan mulia yang tidak seorangpun pernah sampai ke tempat tersebut hingga melewati Sidratul Muntaha.
- Keterkaitan risalah beliau ﷺ dengan risalah para nabi dan rasul sebelumnya dan juga pemberitahuan kepada seluruh alam tentang agamanya yang bersifat universal, keagungan pribadinya dan ajaran agamanya yang cocok untuk semua masa dan tempat.
- Hiburan bagi para wali Allah saat ditimpa ujian, karena peristiwa ini terjadi setelah wafatnya Abu Thalib dan Khadijah yang menjadi penyokong utama dakwah di Makkah, dan juga setelah peristiwa Tha’if yang sangat menyakitkan Rasul ﷺ.
- Diwajibkannya shalat lima waktu di langit dalam peristiwa tersebut yang menunjukkan arti pentingnya kewajiban shalat dalam Islam.
Namun,
sedemikian besarnya pelajaran dan hikmah dari peristiwa tersebut,
sangat sedikit dari kaum muslimin yang bisa mengamalkan konsekuensi dari
imannya terhadap peristiwa itu.
Sangat
masyhur di sebagian kalangan di dunia Islam, termasuk di negeri kita,
perayaan Isra’ dan Mi’raj yang dilaksanakan setiap tahunnya pada malam
27 Rajab.
Setiap
muslim yang mengimani peristiwa tersebut pasti akan mengetahui bahwa
peristiwa itu adalah sebuah peristiwa agung dan luar biasa. Tapi, apakah
dengan kedudukan seperti itu kemudian boleh bagi pengikut agama ini
merayakannya?
Untuk
menjawabnya tentu saja kita harus mengembalikannya kepada aturan
syari’at Islam yang bersumber dari al-Quran dan Sunnah yang shahih.
Islam tegak diatas dalil dari kedua sumber yang mulia tersebut. Dan
ketika Anda merujuk kepada kedua sumber yang mulia itu, sedikitpun Anda
tidak akan mendapatkan tuntunan untuk memperingati atau merayakan
peristiwa besar tersebut. Bahkan dalam hadits yang lemah sekalipun.
Karenanya,
sangat wajar jika para ulama memandang bid’ahnya segala bentuk
peringatan dan perayaan Isra’ dan Mi’raj yang dilakukan sejak lama oleh
sebagian muslim. Yang menjadi rujukan dalam agama adalah dalil, bukan
perbuatan orang atau kalangan tertentu yang tidak berlandaskan dalil.
Berkata Imam Abu Syamah al-Maqdisi asy-Syafi’i (wafat 665 H) rahimahullahu,
“Tidak selayaknya mengkhususkan ibadah-ibadah dengan waktu-waktu
tertentu yanng tidak ditetapkan oleh Syari’at. Bahkan, semua amal-amal
kebajikan bersifat bebas di semua masa, tidak ada keutamaan sebagian
atas sebagian lainnya kecuali apa yang disebutkan keutamaannya oleh
Syari’at dan dikhususkannya sebagai sebuah jenis ibadah. Jika amalan
tersebut dikhususkan dengan keutamaan itu maka itulah ibadah, bukan yang
selainnya, seperti puasa hari Arafah, Asyura’, shalat di penghujung
malam dan umrah di bulan Ramadhan. Dalam persoalan zaman/masa, ada yang
dimana semua amal-amal kebajikan menjadi utama padanya, seperti 10
Dzulhijjah, lailatul qadr yang dia itu lebih baik daripada seribu bulan,
yaitu beramal padanya lebih utama daripada beramal dalam seribu bulan
yang tidak ada padanya lailatul qadr. Yang seperti ini, amalan
apapun yang terlaksana padanya dari amal-amal kebajikan, maka dia
memiliki keutamaan lebih atas amalan yang dilakukan pada masa yang lain.
Kesimpulannya, seorang mukallaf[1] tidak memiliki otoritas untuk mengkhususkan, karena
yang demikian itu dikembalikan kepada Sang Pemilik syari’at. Begitulah
sifat ibadah Rasulullah ﷺ.” (Al-Bâ’its ‘alâ Inkâr al-Bida’ wa al-Hawâdits, hal. 77)
Hal itu ditambah lagi dengan beberapa perkara yang diingkari dari peringatan atau perayaan tersebut, diantaranya :
Perselisihan tentang Waktu Terjadinya Isra’ dan Mi’raj
Ulama
dan para pakar sirah berselisih besar dalam persoalan ini. Mereka
berselisih mengenai tahun dan bulan terjadinya peristiwa itu,
sebagaimana mereka juga berselisih tentang harinya. Memastikan peristiwa
itu terjadi pada malam 27 Rajab adalah perkara yang tidak ada sumbernya
dalam sejarah dan dalil, bahkan para ulama mengingkarinya dengan sangat
keras. Berikut adalah sebagian perkataan mereka :
Berkata Al-Hafidz Ibnu Dihyah Al-Kalbi (w. 633 H) rahimahullahu, “Sebagian tukang cerita menyebutkan bahwa isra’ terjadi pada bulan Rajab, dan yang demikian itu dalam pandangan ulama al-Jarh wa at-Ta’dil[2]
adalah inti kebohongan. Berkata Imam Abu Ishaq al-Harbi : ‘Rasulullah ﷺ
diperjalankan (isra’) pada malam 27 Rabi’ul Awwal’, dan kami telah
sebutkan perselisihan tentang hal itu dalam kitab kami yang berjudul Al-Ibtihâj fî Ahâdîts al-Mi’râj.” (Adâ’ Mâ Wajab min Bayân Wadh’ al-Wadhdhâ’în fî Rajab, hal. 53-54)
Beliau
juga berkata, “Dikatakan : isra’ terjadi pada bulan Rajab, dan pada
sanad periwayatannya terdapat rawi-rawi yang terkenal dengan kedustaan.”
(Al-Ibtihâj fî Ahâdîts al-Mi’râj, hal. 9)
Berkata Syaikh al-‘Allamah Abul Hasan Ali bin Ibrahim bin Dawud bin al-‘Aththar asy-Syafi’i (w. 724 H) rahimahullahu,
“Rajab tidak terdapat padanya sesuatu dari yang demikian (yaitu
keutamaan-keutamaan) selain apa yang sama dimiliki oleh bulan-bulan
lainnya dan statusnya sebagai bulan haram. Sebagian orang mengatakan
bahwa mi’raj dan isra’ terjadi padanya, dan hal itu tidak benar.” (Hukm Shaum Rajab wa Sya’bân, hal. 34)
Berkata Imam Taqiyyuddin Ali bin Abdil Kafi as-Subki asy-Syafi'i (w. 756 H) rahimahullahu,
“Tidak perayaan yang padanya membaca Tadzkirah Hamduniyah bahwa dia
dilaksanakan di bulan Rajab, dan (tidak pula) perayaan orang-orang Mesir
pada malam 27 dari bulan Rajab untuk perkara tersebut, maka yang
demikian itu adalah bid’ah yang ditambahkan kepada kebodohan.” (As-Saif al-Maslûl ‘alâ Man Sabba ar-Rasûl ﷺ, hal. 492)
Berkata Syaikh al-‘Allamah Abu Umamah Muhammad bin Ali bin an-Naqqasy al-Mishri asy-Syafi'i (w. 763 H) rahimahullahu,
“Adapun malam perayaan isra’, tidak ada padanya dalam keutamaan amal
sebuah hadits shahih dan tidak juga dha’if. Karenanya, Nabi ﷺ tidak
pernah menetapkannya untuk para shahabatnya, dan tidak pula seorang dari
para shahabat yang menyebutkannya dengan sanad yang shahih, dan tidak
shahih hingga sekarang dan tidak juga hingga hari Kiamat sesuatupun!
Siapa yang mengatakan sesuatu berkenaan dengannya, dia mengucapkannya
dengan kepandaiannya terhadap suatu rujukan yang nampak olehnya dan dia
pilih. Karenanya, pendapat-pendapat saling berbenturan dan berselisih,
dan urusan itu tidak tetap diatas suatu kepastian apapun. Kalau saja
urusan itu memiliki manfaat untuk umat walaupun sebiji jagung, niscaya
Nabi mereka telah menjelaskannya kepada mereka, ﷺ.” (Al-Mawâhib al-Ladunniyyah, II/431)
Berkata al-Hafidz Ibnu Katsir asy-Syafi’i (w. 774 H) rahimahullahu ketika beliau menyebutkan tentang perselisihan waktu terjadinya isra’ dan mi’raj, “Beliau (yaitu Imam Abdul Ghani al-Maqdisi rahimahullahu) telah menyebutkan sebuah hadits yang sanadnya tidak sah. Kami telah menyebutkannya dalam fadha’il bulan Rajab bahwa peristiwa isra’ terjadi pada malam 27 Rajab, wallahu a’lam. Di antara manusia adalah yang mendakwakan bahwa isra’ terjadi pada malam Jumat pertama dari bulan Rajab, dan itu adalah malam ar-Ragha’ib yang dibuat padanya suatu shalat yang terkenal (shalat Ragha’ib) dan tidak ada sumbernya (dalam agama).” (Al-Bidâyah wa an-Nihâyah, IV/270)
Berkata al-Hafidz Ibnu Rajab al-Hanbali (w. 795 H) rahimahullahu,
“Adapun peristiwa isra’, katanya terjadi pada bulan Rajab, dan
(pendapat itu) dilemahkan lebih dari satu ulama. Pendapat lain
mengatakan di bulan Rabi’ul Awwal, dan itu adalah pendapat Ibrahim
al-Harbi dan selainnya.” (Lathâif al-Ma’ârif, hal. 140)
Berkata al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani asy-Syafi'i (w. 852 H) rahimahullahu,
“Telah diperselisihkan waktu terjadinya mi’raj. Dikatakan : peristiwa
itu terjadi sebelum kenabian, dan ini adalah pendapat yang syâdz
(bersendirian/aneh) kecuali jika dimaksudkan bahwa itu terjadi dalam
tidur sebagaimana yang telah disebutkan. Mayoritas berpendapat bahwa
mi’raj terjadi setelah kenabian, kemudian mereka berselisih. Dikatakan :
terjadi setahun sebelum hijrah. Demikian perkata Ibnu Sa’ad dan
selainnya, dan demikian yang dipastikan oleh an-Nawawi, dan Ibnu Hazm
berlebihan hingga menukil ijma’ tentang waktu tersebut. Nukilan ijma’
beliau itu tertolak, karena padanya terdapat perselisihan yang sangat
banyak lebih dari sepuluh pendapat. Diantaranya juga adalah apa yang
disebutkan Ibnul Jauzi bahwa mi’raj terjadi 8 bulan sebelum hijrah –dan
itu artinya terjadi di bulan Rajab. Pendapat lain : 6 bulan (sebelum
hijrah), artinya terjadi di bulan Ramadhan. Pendapat kedua ini
disebutkan oleh Abu ar-Rabi’ bin Salim dan Ibnu Hazm menyebutkan
konsekuensi dari pendapat yang sebelumnya karena ia mengatakan : ‘Mi’raj
terjadi di bulan Rajab tahun ke 12 dari kenabian’. Pendapat lain : 11
bulan sebelum hijrah. Pendapat ini dipastikan oleh Ibrahim al-Harbi
dimana ia berkata : ‘Mi’raj pada bulan Rabi’ul Akhir setahun sebelum
hijrah’. Pendapat tersebut dikuatkan oleh Ibnul Munayyir dalam Syarh as-Sîrah
oleh Ibnu Abdil Barr. Pendapat lain : setahun dua bulan sebelum hijrah,
demikian disebutkan Ibnu Abdil Barr. Pendapat lain : setahun tiga
bulan, disebutkan oleh Ibnu Faris. Pendapat lain : setahun lima bulan,
disebutkan oleh as-Suddi, dan darinya diriwayatkan juga oleh ath-Thabari
dan al-Baihaqi. Dengan pendapat ini, mi’raj terjadi pada bulan Syawwal
atau Ramadhan dengan menghilangkan pecahan angkanya jika dihitung
darinya atau dari Rabi’ul Awwal. Demikian dipastikan oleh al-Waqidi dan
secara lahir selaras dengan apa yang disebutkan Ibnu Qutaibah. Ibnu
Abdil Barr juga menyebutkan bahwa mi’raj terjadi 18 bulan sebelum
hijrah. Menurut Ibnu Sa’ad dari Ibnu Abi Sabrah bahwa itu terjadi di
bulan Ramadhan, 18 bulan sebelum hijrah. Pendapat lain : terjadi di
bulan Rajab; disebutkan Ibnu Rajab dan dikuatkan oleh an-Nawawi dalam ar-Raudhah.
Pendapat lain : 3 tahun sebelum hijrah; disebutkan oleh Ibnul Atsir.
Al-Qadhi ‘Iyadh menyebutkan –dan diikuti oleh al-Qurthubi dan an-Nawawi-
dari az-Zuhri bahwa mi’raj terjadi 5 tahun sebelum hijrah. Pendapat
tersebut dikuatkan oleh ‘Iyadh dan yang mengikutinya pendapatnya.” (Fath al-Bârî, VII/203)
Berkata Syaikh al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin al-Albani (w. 1420/1999) rahimahullahu
mengomentari perkataan Ibnu Dihyah yang telah disebutkan, “Perkataan
tersebut dinukil dari penulis oleh al-Hafidz Ibnu Hajar dalam risalahnya
terdahulu dan ia membenarkannya. Bahkan yang wajib adalah menjelaskan
masalah ini kepada manusia dengan segala sarana yang mungkin, dalam
setiap kesempatan, wallahul musta’an.” (Takhrîj Kitâb Adâ’ Mâ Wajab, hal. 53)
Al-Albani juga mengatakan, “Pendapat-pendapat tersebut disebutkan as-Suyuthi dalam al-Âyah al-Kubrâ fî Syarh Qishshah al Isrâ hal. 34 dan al-‘Allamah al-Alusi dalam tafsirnya Rûh al-Ma’ânî
(IV/469), dan mencapai 5 pendapat. Tidak ada satupun perkataan yang
disandarkan kepada berita seorang shahabat yang bisa menenangkan
pikiran. Karenanya, terjadi kontradiksi tentangnya dalam pendapat satu
orang ulama. An-Nawawi rahimahullahu ta’ala contohnya, dalam
perkara ini ia memiliki 3 pendapat yang mereka kutipkan darinya. Salah
satunya sama seperti pendapat al-Harbi yang dalam kitab itu dan
an-Nawawi telah memastikannya dalam Fatâwâ-nya halaman 15. Dalam
kasus ini terdapat sesuatu yang bisa memahamkan seorang berakal bahwa
para Salaf, mereka tidak pernah merayakan malam tersebut, tidak
menjadikannya sebagai hari besar, tidak di bulan Rajab dan tidak juga
pada yang selainnya. Andai mereka merayakannya sebagaimana yang
dilakukan orang-orang belakangan (khalaf) pada hari ini, niscaya
perayaan itu akan dinukil secara mutawatir dari mereka, kepastian
malamnya menjadi jelas di kalangan khalaf dan mereka tidak akan
berselisih dengan perselisihan yang aneh ini!” (Takhrîj Kitâb Adâ’ Mâ Wajab, hal. 54)
Andai Memang Peristiwa itu Terjadi pada 27 Rajab?
Setelah
menyebutkan perselisihan ulama, maka seandainya benar bahwa peristiwa
itu terjadi pada malam 27 Rajab, tidak seorang pun diizinkan
mengkhususkan malam atau hari itu dengan ibadah atau perayaan tertentu.
Kalau
saja ada kebaikan dalam mengkhususkan hari itu dengan perayaan, maka
Rasulullah ﷺ adalah orang yang paling pantas untuk melakukannya, jika
berkait dengan peristiwa tersebut.
Jika
berkait dengan pribadinya dan untuk mengingatnya sebagaimana yang
dilakukan dalam perayaan Maulid, maka orang yang paling utama dan pantas
merayakannya adalah Abu Bakr, Umar, Utsman, Ali dan para shahabat radhiyallahu ‘anhum, serta para tokoh ulama generasi Tabi’in dan ulama-ulama umat ini yang tidak dikenal seorang pun dari mereka yang merayakannya.
Semua kebaikan ada dalam mengikuti jejak para as-Salaf ash-Shalih.
Apa Hukumnya Merayakan Isra’ dan Mi’raj?
Sebagian ulama secara jelas telah menerangkan perkara ini dan mengatakan bahwa perayaan tersebut adalah bid’ah.
Diantara para ulama tersebut adalah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (Majmû’ al-Fatâwâ XXV/298, Zâd al-Ma’âd I/57-59), Imam Ibnul Qayyim (Zâd al-Ma’âd I/57-59), al-‘Allamah Ibnul Hajj al-Maliki (al-Madkhal I/294-297; al-Mawâsim allatî Nasabûhâ ila asy-Syar’ wa Laisat Minhu), Taqiyyuddin as-Subki asy-Syafi’i, al-‘Allamah Ibn an-Naqqasy, Imam Ibn an-Nahhas ad-Dimasyqi (Tanbîh al-Ghâfilîn ‘an A’mâl al-Jâhilîn, hal. 398-400), Syaikh Muhammad asy-Syuqairi (As-Sunan wa al-Mubtada’ât al-Muta’alliqah bi al-Adzkâr wa ash-Shalawât, hal. 143), Syaikh Ali Mahfudz al-Azhari (Al-Ibdâ’ fi Madhâr al-Ibtidâ’, hal. 272), al-‘Allamah Muhammad bin Ibrahim Alu asy-Syaikh (Fatâwâ wa Rasâil asy-Syaikh Muhammad ibn Ibrâhîm Âl asy-Syaikh, III/97-102), Syaikh Abdullah bin Zaid Alu Mahmud (Kalimah al-Haq fi al-Ihtifâl bi Maulid Sayyid al-Khalq), Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, Syaikh Abdul Aziz bin Baz (Fatâwâ Ibn Bâz, I/183-185) dan Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin (Majmû’ Fatâwâ wa Rasâil Ibn Utsaimîn, II/296-297).
Berikut
kami kutipkan beberapa perkataan ulama yang tidak berkait dengan Saudi atau Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab agar
tidak ada yang mengatakan bahwa perkataan ini hanya pendapat kaum
“wahabi” :
- Syaikh al-‘Allamah Muhammad bin Ahmad bin Abdussalam asy-Syuqairi al-Hawamidi al-Mishri rahimahullahu[3], seorang ulama Mesir.
Beliau berkata dalam bukunya As-Sunan wa al-Mubtada’ât al-Muta’alliqah bi al-Adzkâr wa ash-Shalawât, hal. 143 dalam pembahasan “fî Bida’ Syahr Rajab”
: “Membaca kisah mi’raj dan merayakannya pada malam 27 Rajab adalah
bid’ah, dan pengkhususan sebagian orang pada malam itu dengan dzikir dan
ibadah adalah bid’ah. Doa-doa yang dibaca di bulan Rajab, Sya’ban dan
Ramadhan, semuanya adalah perkara yang baru dan diada-adakan. Kalau
perkara itu baik, niscaya mereka (para shahabat) akan mendahului kita
dalam perkara tersebut. Peristiwa isra’, tidak ada dalil yang
menunjukkan tentang malam (tertentu) dan tidak juga bulannya.
Permasalahan perginya beliau serta kembalinya pada malam isra’ sementara
kasurnya belum dingin tidaklah sah[4]. Bahkan itu adalah salah satu dari
kedustaan yang dibuat manusia.”
- Syaikh Ali Mahfudz al-Azhari rahimahullahu, seorang ulama al-Azhar, wafat pada tahun1361 H/1942 M.
Beliau berkata dalam bukunya Al-Ibdâ’ fi Madhâr al-Ibtidâ’, hal. 272, dalam pembahasan “al-Mawâsim allatî Nasabûhâ ila asy-Syar’ wa Laisat Minhu”
: “Diantaranya adalah malam mi’raj yang Allah telah memuliakan umat ini
dengan apa yang Dia syari’atkan pada malam tersebut. Orang-orang di
zaman ini telah mendatangkan pada malam itu berbagai macam kemungkaran
dan mengada-adakan padanya berbagai jenis bid’ah yang banyak, seperti
berkumpul di masjid-masjid, menyalakan lilin dan pelita padanya dan
diatas menara-menara, dan berlaku boros dalam acara itu. Juga
berkumpulnya mereka untuk dzikir dan membaca kisah mi’raj. Yang demikian
itu baik kalau saja benar sebagai peringatan, membaca dan mempelajari
ilmu. Akan tetapi mereka bermain-main dalam agama Allah. Orang yang
berdzikir sebagaimana yang engkau ketahui, dan orang yang membaca
sebagaimana yang engkau ketahui, lalu ia menambahkan padanya apa yang
bukan bagian darinya dan mengurangkan darinya apa yang ada padanya.
Alangkah indahnya perjalanan hidup para Salaf, karena mereka sangat
antusias untuk menjaga komitmen diatas apa yang berada diatasnya Rasul
ﷺ. Mereka tidak keluar dari apa yang shahih sehelai rambut pun dan
meyakini bahwa keluar dari perkara itu adalah sebuah kesesatan. Terutama
generasi shahabat dan yang setelah mereka dari tiga generasi yang
dipersaksikan akan kebaikan mereka, semoga Allah meridhai mereka
seluruhnya.”
- Syaikh Abdullah bin Zaid Alu Mahmud rahimahullahu, ketua Mahkamah Syar’iyyah di Qatar, wafat tahun 1417 H/1997 M.
Beliau berkata dalam bukunya Kalimah al-Haq fi al-Ihtifâl bi Maulid Sayyid al-Khalq,
hal 491 : “Adapun perayaan atas anugerah kenikmatan atau kelahiran Nabi
ﷺ atau peristiwa isra’ beliau, maka semuanya itu termasuk bid’ah yang
Allah tidak pernah menurunkan hujjah atasnya. Semua itu termasuk
perkara-perkara baru yang telah dilarang Rasulullah ﷺ.”
Beliau
juga berkata (hal. 535) : “Karenanya, tidak sah dari Khulafa’ Rasyidin,
tidak pula dari para shahabat dan tabi’in, dan tidak dari para imam
mazhab yang diikuti seperti Imam Ahmad, asy-Syafi’i, Malik dan Abu
Hanifah serta sahabat-sahabat mereka; tidak sah riwayat dari mereka
berkenaan dengan pengagungan maulid Rasul ﷺ dan berkumpul pada hari
tersebut, dan tidak juga hari isra’ dan mi’raj. Kalau saja perkara itu
baik, niscaya mereka telah mendahului kita dalam kebaikan tersebut.”
Demikian
yang bisa kami terjemahkan dan kutipkan untuk pembaca. Masih banyak
perkataan lainnya dari para ulama, semoga Allah memberi kemudahan untuk bisa
disampaikan kepada kaum muslimin.
Mudah-mudahan
apa yang sedikit ini bisa memberikan pencerahan kepada kita untuk
kembali kepada ajaran agama yang hak, yang merupakan syarat penting bagi
terwujudnya kemenangan umat ini.
Wa bi_llahi at-taufiq.
(Sumber tulisan ini berasal dari sebuah artikel di saaid.net oleh Syaikh Abdullah al-Husaini)
------------------
Footnotes :
[1] Mukallaf adalah muslim yang telah dibebani kewajiban syari’at
[2] Al-Jarh wa at-Ta'dil adalah salah satu cabang ilmu dalam hadits untuk menilai status seorang perawi
[3] Kami belum dapatkan tahun wafatnya beliau. Namun dalam buku "As-Sunan wa al-Mubtada’ât", beliau menyebutkan tahun selesainya penulisan buku tersebut, yaitu tahun 1351 H, dan selesai disusun kembali pada tahun 1352 H.
[4] Yaitu; kasurnya masih hangat bekas diduduki sebelum berangkatnya beliau untuk diperjalankan
------------------
Footnotes :
[1] Mukallaf adalah muslim yang telah dibebani kewajiban syari’at
[2] Al-Jarh wa at-Ta'dil adalah salah satu cabang ilmu dalam hadits untuk menilai status seorang perawi
[3] Kami belum dapatkan tahun wafatnya beliau. Namun dalam buku "As-Sunan wa al-Mubtada’ât", beliau menyebutkan tahun selesainya penulisan buku tersebut, yaitu tahun 1351 H, dan selesai disusun kembali pada tahun 1352 H.
[4] Yaitu; kasurnya masih hangat bekas diduduki sebelum berangkatnya beliau untuk diperjalankan
0 tanggapan:
Posting Komentar