1. Definisi Al-Muhkam
Al-Muhkam menurut istilah adalah hadits maqbul yang selamat dari hadits kontradiktif yang sepertinya.
Hadits-hadits pada umumnya berasal dari jenis ini. Adapun yang “kontradiktif” (muta’âridhah mukhtalifah) sangatlah sedikit jika dilihat dari jumlah hadits-hadits yang ada.
2. Definisi Mukhtalaf Al-Hadits
Yaitu hadits maqbul yang kontradiktif dengan hadits yang semisalnya, dengan kemungkinan mengumpulkan/memadukan (jam’) antara kedua hadits tersebut.
Penjelasannya :
Mukhtalaf al-Hadits adalah hadits shahih atau hasan yang kemudian
datang hadits lain sepertinya yang sama dalam level dan kekuatannya,
akan tetapi secara lahir kontradiksi dalam makna. Dan mungkin bagi para
pakar hadits mengumpulkan petunjuk dari kedua hadits tersebut dengan
metode yang benar dan diterima.
Contoh :
لا عدوى ولا طيرة
Hadits :“Tidak ada penyakit menular dan tidak ada thiyarah…” (HR. Al-Bukhary dan Muslim),[1] dan hadits :
فِرّ من المجذوم فرارك من الأسد
“Larilah dari orang yang berpenyakit kusta sebagaimana larimu dari singa.” (HR. Al-Bukhary)
Kedua hadits ini adalah hadits shahih yang secara lahir nampaknya bertentangan. Hadits pertama meniadakan penyakit menular (‘adwâ), dan hadits kedua menetapkan adanya hal tersebut.
Para ulama
telah memadukan makna kedua hadits ini dan menjelaskan makna keduanya
dengan beberapa metode, diantaranya apa yang disebutkan al-Hafidz Ibnu
Hajar rahimahullahu berikut ini :
Kita katakan bahwa penyakit menular “tidak ada” dengan dalil lain dari sabdanya,
لا يعدي شيئٌ شيئًا
“Sesuatu tidak akan menularkan sesuatu yang lain.” (HR. At-Tirmidzi dan Ahmad)
Dan sabda
beliau kepada orang yang mengatakan bahwa onta kudisan yang berada dan
bercampur dengan onta yang sehat, dan akhirnya menularkan penyakitnya
kepada yang sehat;
فمن أعدى الأول؟
“Siapakah yang menularkan penyakit kepada yang pertama?” (HR. Al-Bukhary dan Muslim)
Maksudnya,
bahwa Allah Ta’ala, Dia-lah yang memberikan penyakit kepada onta kedua
sebagaimana Dia memberikannya kepada yang pertama.
Adapun perintah untuk lari dari orang yang berpenyakit kusta, maka ini dari sisi sadd adz-dzarâ-i’
(tindakan preventif/pencegahan), agar jangan sampai penyakit itu
terjadi secara kebetulan kepada orang sehat yang bercampur dengan orang
yang sakit dengan takdir/ketetapan dari Allah Ta’ala, bukan karena
“penularan”. Sehingga akhirnya dia menyangka bahwa hal itu terjadi
disebabkan bercampurnya dia dengan orang tersebut, dan meyakini bahwa
“penularan” sebagai satu-satunya sebab terjadinya dan jatuhlah dia ke
dalam dosa.
Apa yang mesti dilakukan jika mendapatkan dua hadits maqbul yang kontradiktif?
Dia wajib mengikuti metode berikut ini :
1. Jika memungkinkan men-jama’ (memadukan) antara kedua hadits tersebut, wajib untuk melakukannya, dan wajib diamalkan.
2. Jika tidak memungkinkan men-jama’ antara keduanya dari salah satu metode yang ada, maka,
a. Jika diketahui salah satunya nâsikh, itulah yang diambil dan diamalkan, dan kita tinggalkan yang mansûkh.
b. Jika persoalan naskh itu tidak diketahui, kita men-tarjîh salah satunya dengan salah satu dari metode tarjih yang mencapai 50 metode atau bahkan lebih, kemudian kita amalkan yang rajih.
c. Jika tidak mungkin mentarjih salah satunya atas yang lainnya, dan ini sangatlah langka, kita mengambil langkah “tawaqquf”, yaitu tidak mengamalkan keduanya sampai ada hal yang bisa merajihkan salah satunya.
(Sumber : Taysîr Mushthalah al-Hadîts, Dr. Mahmud ath-Thahhan)
—————————
[1] Thiyarah adalah merasa sial dengan sesuatu yang dilihat, didengarkan atau dikerjakan.
0 tanggapan:
Posting Komentar