Sponsors

01 Juni 2015

Tabarruk dengan Tempat, Masa atau Sesuatu yang Tidak Disyari’atkan

Diantara bentuk tabarruk terlarang yang bid’ah dan banyak dilakukan oleh kalangan awam dari kaum muslimin adalah bertabarruk dengan tempat-tempat, zaman/masa atau sesuatu yang tidak pernah disebutkan dalil tentang disyari’atkannya perkara tersebut.

Diantara contoh-contoh tabarruk bid’ah tersebut adalah hal-hal berikut ini :

1. Tempat-tempat yang kebetulan pernah dilalui Nabi atau beliau pernah beribadah kepada Allah di tempat tersebut tanpa sengaja memaksudkannya. Hanya kebetulan beliau berada di tempat itu saat datangnya waktu untuk beribadah, dan tidak ada dalil syar’i yang menunjukkan akan keutamaannya.

Diantara tempat-tempat tersebut yang diagungkan orang-orang awam dan dituju untuk melakukan ibadah padanya atau meyakini keutamaannya adalah bukit Tsaur, gua Hira’, bukit Arafah, tempat-tempat yang pernah dilewati Nabi dalam perjalannya, tujuh masjid yang dekat khandaq (bekas parit saat perang Khandaq), tempat yang diklaim oleh sebagian orang bahwa Nabi dilahirkan di tempat itu, padahal hal seperti ini banyak diperselisihkan, dan juga tempat-tempat yang diklaim sebagai tempat lahirnya atau hidupnya seorang nabi atau wali, tanpa ada yang bisa memastikan tentang kebenarannya.

Karenanya, tidak boleh seorang muslim sengaja mengunjungi tempat-tempat tersebut untuk beribadah kepada Allah padanya dengan memanjatkan doa, melaksanakan shalat dan yang semacamnya, sebagaimana tidak boleh juga mengusap-usap tempat-tempat itu untuk mencari keberkahan. Tidak disyari’atkan pula untuk memanjat naik ke bukit-bukit pada hari Arafah, bahkan tidak juga untuk mendaki bukit Arafah pada hari Arafah atau yang selainnya. Tidak juga disyari’atkan mengusap batu yang berada di puncak bukit tersebut. Yang disyari’atkan hanyalah wuquf di batu-batu yang dekat darinya jika memungkinkan. Jika tidak, seorang yang berhaji boleh wukuf di mana saja dari tanah Arafah.

Tidak pernah dinukil dari seorang Shahabat pun bahwa mereka sengaja datang ke tempat-tempat itu untuk bertabarruk dengan menciumnya atau mengusapnya atau sengaja untuk beribadah padanya.

Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah (II/84) bahwa Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu saat kembali dari berhaji, ia melihat orang-orang berbondong-bondong mendatangi dan shalat di sebuah masjid. Ia bertanya tentang hal tersebut, maka mereka menjelaskan, “(Itu adalah) masjid yang dahulu Nabi pernah shalat di tempat itu.” Maka Umar berkata, “Sungguh, yang membinasakan orang-orang sebelum kalian karena mereka menjadikan bekas-bekas peninggalan nabi-nabi mereka sebagai tempat ibadah. Siapa yang menjumpai salah satu dari masjid-masjid ini dan tiba waktu shalat, maka ia boleh shalat. Jika tidak, hendaknya ia lanjutkan (perjalanannya).”

2. Tabarruk dengan sebagian pohon, batu, pilar, sumur dan mata air yang disangka oleh sebagian orang awam bahwa benda itu memiliki keutamaan, entah dengan keyakinan mereka bahwa seorang nabi atau wali pernah berdiam di batu tersebut, atau keyakinan mereka bahwa seorang nabi pernah tidur di bawah pohon itu, atau salah seorang dari orang-orang awam itu melihat mimpi bahwa pohon itu atau batu itu memiliki keberkahan, atau keyakinan bahwa seorang nabi pernah mandi di sebuah sumur atau mata air, atau seseorang pernah mandi padanya dan sembuh dari penyakitnya, dan yang semacamnya. Mereka pun akhirnya mendatanginya dan mencari keberkahan padanya dengan mengusap-usap batu atau pohon, dan mandi dengan air dari sumur atau mata air tersebut dan menggantungkan kertas, paku atau kain di pohon-pohon itu. Terkadang, perbuatan ini membawa sebagian mereka pada peribadatan kepada benda-benda itu, dengan meyakini bahwa benda-benda itu dapat memberi manfaat atau menolak keburukan.

Tidak diragukan bahwa semua bentuk tabarruk yang seperti ini adalah haram dengan ijma’ (kesepakatan) para ulama dan hal itu tidak dilakukan kecuali oleh orang-orang jahil. Yang demikian itu adalah termasuk mengada-adakan ibadah yang tidak memiliki landasan dalam Syari’at, dan merupakan sebab terbesar bagi bagi jatuhnya umat ini dalam syirik akbar.

Diriwayatkan oleh Imam al Bukhary dan Imam Muslim dari Abu Waqid al Laitsi radhiyallahu ‘anhu, ia berkata : Kami pergi bersama Rasulullah menuju Hunain, sementara kami belum lama lepas dari kekufuran. Orang-orang musyrik memiliki sebuah sidrah (pohon bidara) yang mereka beri’tikaf di sekelilingnya dan menggantungkan padanya senjata-senjata dan barang-barangnya, yang dinamakan Dzât Anwâth. Kami pun melewati pohon tersebut. Kami berkata : “Wahai Rasullullah, buatkan untuk kami Dzât Anwâth sebagaimana mereka memiliki Dzât Anwâth.”

Beliau bersabda :

الله أكبر!! هذا كما قالت بنو إسرائيل : { اجعل لنا إلها كما لهم آلهة، قال إنكم قوم تجهلون } لتركبن سنن من كان قبلكم

Allâhu akbar!! Perkataan ini sebagaimana yang dikatakan oleh Bani Israil: ‘Buatkan untuk kami sebuah tuhan (berhala) sebagaimana mereka mempunyai beberapa tuhan!’. Musa berkata: ‘Sesungguhnya kamu ini adalah kaum yang bodoh!’. Sesungguhnya kalian pasti akan mengikuti kebiasaan orang-orang sebelum kalian.

Termasuk perkara yang mesti diketahui oleh setiap muslim dalam Islam ini bahwa tidak ada batu dan yang semacamnya yang disyari’atkan untuk diusap atau dicium demi untuk mendapatkan keberkahan. Bahkan, Maqam Ibrahim ‘alaihissalam tidak disyari’atkan untuk dicium walaupun beliau pernah berdiri diatasnya dan bekas kedua kakinya ada diatasnya.

Adapun mengusap dan mencium Hajar Aswad atau mengusap Rukun Yamani saat thawaf, maka perbuatan ini semata-mata bentuk ibadah kepada Allah dan mengikuti sunnah Nabi . Karenanya, saat mencium Hajar Aswad, Umar radhiyallahu ‘anhu pernah berkata, “Sungguh, aku mengetahui bahwa engkau hanya sebuah batu yang tidak memberi keburukan atau memberi manfaat. Kalau bukan karena aku melihat Rasulullah menciummu, niscaya aku tidak akan menciummu.” (HR. al-Bukhary dan Muslim).

Wajib bagi pemerintah dan orang-orang yang memiliki wewenang dan kemampuan untuk menebang setiap pohon, menghancurkan setiap sumur dan mata air, serta menyingkirkan setiap batu yang dituju orang-orang awam untuk bertabarruk dengannnya sebagaimana yang dilakukan Umar radhiyallahu ‘anhu ketika ia menebang pohon Bai’atur Ridhwan.

3. Tabarruk dengan sebagian malam atau hari yang dikatakan bahwa pada malam atau hari itu terjadi sebuah peristiwa besar dan luar biasa. Seperti malam yang dikatakan padanya terjadi peristiwa Isra’ & Mi’raj, atau hari yang diklaim sebagai hari kelahiran Nabi . Semua ini tidak memiliki landasan sejarah yang kuat karena diperselisihkan oleh para ulama dan bahkan tidak memiliki riwayat yang sah dari Nabi tentang penetapan hari kejadiannya. Perkara-perkara seperti ini adalah buatan manusia yang tidak pernah disebutkan dalam dalil syar’i akan keutamaannya atau keutamaan beribadah padanya.

Sumber : Tahdzîb Tashîl al Aqîdah al Islâmiyyah


0 tanggapan:

Posting Komentar