Diantara
bentuk tabarruk terlarang yang bid’ah dan banyak dilakukan oleh kalangan
awam dari kaum muslimin adalah bertabarruk dengan tempat-tempat,
zaman/masa atau sesuatu yang tidak pernah disebutkan dalil tentang
disyari’atkannya perkara tersebut.
Diantara contoh-contoh tabarruk bid’ah tersebut adalah hal-hal berikut ini :
1. Tempat-tempat yang kebetulan pernah dilalui Nabi ﷺ
atau beliau pernah beribadah kepada Allah di tempat tersebut tanpa
sengaja memaksudkannya. Hanya kebetulan beliau berada di tempat itu saat
datangnya waktu untuk beribadah, dan tidak ada dalil syar’i yang
menunjukkan akan keutamaannya.
Diantara
tempat-tempat tersebut yang diagungkan orang-orang awam dan dituju untuk
melakukan ibadah padanya atau meyakini keutamaannya adalah bukit Tsaur,
gua Hira’, bukit Arafah, tempat-tempat yang pernah dilewati Nabi ﷺ
dalam perjalannya, tujuh masjid yang dekat khandaq (bekas parit saat
perang Khandaq), tempat yang diklaim oleh sebagian orang bahwa Nabi ﷺ
dilahirkan di tempat itu, padahal hal seperti ini banyak
diperselisihkan, dan juga tempat-tempat yang diklaim sebagai tempat
lahirnya atau hidupnya seorang nabi atau wali, tanpa ada yang bisa
memastikan tentang kebenarannya.
Karenanya,
tidak boleh seorang muslim sengaja mengunjungi tempat-tempat tersebut
untuk beribadah kepada Allah padanya dengan memanjatkan doa,
melaksanakan shalat dan yang semacamnya, sebagaimana tidak boleh juga
mengusap-usap tempat-tempat itu untuk mencari keberkahan. Tidak
disyari’atkan pula untuk memanjat naik ke bukit-bukit pada hari Arafah,
bahkan tidak juga untuk mendaki bukit Arafah pada hari Arafah atau yang
selainnya. Tidak juga disyari’atkan mengusap batu yang berada di puncak
bukit tersebut. Yang disyari’atkan hanyalah wuquf di batu-batu yang
dekat darinya jika memungkinkan. Jika tidak, seorang yang berhaji boleh
wukuf di mana saja dari tanah Arafah.
Tidak
pernah dinukil dari seorang Shahabat pun bahwa mereka sengaja datang ke
tempat-tempat itu untuk bertabarruk dengan menciumnya atau mengusapnya
atau sengaja untuk beribadah padanya.
Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah (II/84) bahwa Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu
saat kembali dari berhaji, ia melihat orang-orang berbondong-bondong
mendatangi dan shalat di sebuah masjid. Ia bertanya tentang hal
tersebut, maka mereka menjelaskan, “(Itu adalah) masjid yang dahulu Nabi ﷺ
pernah shalat di tempat itu.” Maka
Umar berkata, “Sungguh, yang membinasakan orang-orang sebelum kalian
karena mereka menjadikan bekas-bekas peninggalan nabi-nabi mereka
sebagai tempat ibadah. Siapa yang menjumpai salah satu dari
masjid-masjid ini dan tiba waktu shalat, maka ia boleh shalat. Jika
tidak, hendaknya ia lanjutkan (perjalanannya).”
2.
Tabarruk dengan sebagian pohon, batu, pilar, sumur dan mata air yang
disangka oleh sebagian orang awam bahwa benda itu memiliki keutamaan,
entah dengan keyakinan mereka bahwa seorang nabi atau wali pernah
berdiam di batu tersebut, atau keyakinan mereka bahwa seorang nabi
pernah tidur di bawah pohon itu, atau salah seorang dari orang-orang
awam itu melihat mimpi bahwa pohon itu atau batu itu memiliki
keberkahan, atau keyakinan bahwa seorang nabi pernah mandi di sebuah
sumur atau mata air, atau seseorang pernah mandi padanya dan sembuh dari
penyakitnya, dan yang semacamnya. Mereka pun akhirnya mendatanginya dan
mencari keberkahan padanya dengan mengusap-usap batu atau pohon, dan
mandi dengan air dari sumur atau mata air tersebut dan menggantungkan
kertas, paku atau kain di pohon-pohon itu. Terkadang, perbuatan ini
membawa sebagian mereka pada peribadatan kepada benda-benda itu, dengan
meyakini bahwa benda-benda itu dapat memberi manfaat atau menolak
keburukan.
Tidak diragukan bahwa semua bentuk tabarruk yang seperti ini adalah haram dengan ijma’
(kesepakatan) para ulama dan hal itu tidak dilakukan kecuali oleh
orang-orang jahil. Yang demikian itu adalah termasuk mengada-adakan
ibadah yang tidak memiliki landasan dalam Syari’at, dan merupakan sebab
terbesar bagi bagi jatuhnya umat ini dalam syirik akbar.
Diriwayatkan oleh Imam al Bukhary dan Imam Muslim dari Abu Waqid al Laitsi radhiyallahu ‘anhu, ia berkata : Kami pergi bersama Rasulullah ﷺ menuju Hunain, sementara kami belum lama lepas dari kekufuran. Orang-orang musyrik memiliki sebuah sidrah
(pohon bidara) yang mereka beri’tikaf di sekelilingnya dan
menggantungkan padanya senjata-senjata dan barang-barangnya, yang
dinamakan Dzât Anwâth. Kami pun melewati pohon tersebut. Kami berkata :
“Wahai Rasullullah, buatkan untuk kami Dzât Anwâth sebagaimana mereka
memiliki Dzât Anwâth.”
Beliau ﷺ bersabda :
الله أكبر!! هذا كما قالت بنو إسرائيل : { اجعل لنا إلها كما لهم آلهة، قال إنكم قوم تجهلون } لتركبن سنن من كان قبلكم
“Allâhu akbar!! Perkataan ini sebagaimana yang dikatakan oleh Bani Israil: ‘Buatkan
untuk kami sebuah tuhan (berhala) sebagaimana mereka mempunyai beberapa
tuhan!’. Musa berkata: ‘Sesungguhnya kamu ini adalah kaum yang bodoh!’.
Sesungguhnya kalian pasti akan mengikuti kebiasaan orang-orang sebelum
kalian.”
Termasuk
perkara yang mesti diketahui oleh setiap muslim dalam Islam ini bahwa
tidak ada batu dan yang semacamnya yang disyari’atkan untuk diusap atau
dicium demi untuk mendapatkan keberkahan. Bahkan, Maqam Ibrahim ‘alaihissalam tidak disyari’atkan untuk dicium walaupun beliau pernah berdiri diatasnya dan bekas kedua kakinya ada diatasnya.
Adapun
mengusap dan mencium Hajar Aswad atau mengusap Rukun Yamani saat thawaf,
maka perbuatan ini semata-mata bentuk ibadah kepada Allah dan mengikuti
sunnah Nabi ﷺ. Karenanya, saat mencium Hajar Aswad, Umar radhiyallahu ‘anhu
pernah berkata, “Sungguh, aku mengetahui bahwa engkau hanya sebuah batu
yang tidak memberi keburukan atau memberi manfaat. Kalau bukan karena
aku melihat Rasulullah ﷺ menciummu, niscaya aku tidak akan menciummu.” (HR. al-Bukhary dan Muslim).
Wajib bagi pemerintah dan orang-orang yang memiliki wewenang dan
kemampuan untuk menebang setiap pohon, menghancurkan setiap sumur dan
mata air, serta menyingkirkan setiap batu yang dituju orang-orang awam
untuk bertabarruk dengannnya sebagaimana yang dilakukan Umar radhiyallahu ‘anhu ketika ia menebang pohon Bai’atur Ridhwan.
3.
Tabarruk dengan sebagian malam atau hari yang dikatakan bahwa pada malam
atau hari itu terjadi sebuah peristiwa besar dan luar biasa. Seperti
malam yang dikatakan padanya terjadi peristiwa Isra’ & Mi’raj, atau
hari yang diklaim sebagai hari kelahiran Nabi ﷺ.
Semua ini tidak memiliki landasan sejarah yang kuat karena
diperselisihkan oleh para ulama dan bahkan tidak memiliki riwayat yang
sah dari Nabi ﷺ tentang penetapan hari
kejadiannya. Perkara-perkara seperti ini adalah buatan manusia yang
tidak pernah disebutkan dalam dalil syar’i akan keutamaannya atau
keutamaan beribadah padanya.
Sumber : Tahdzîb Tashîl al Aqîdah al Islâmiyyah
0 tanggapan:
Posting Komentar