Pada asalnya, seorang wanita hamil dan wanita yang sedang menyusui bayinya tetap wajib berpuasa di bulan Ramadhan.
Jika
wanita hamil tersebut khawatir terhadap janinnya, dan wanita yang sedang
menyusui khawatir akan bayi susuannya yang jika berpuasa air susunya
akan berkurang dan sebagainya disebabkan oleh puasa –dengan
pengalamannya atau rekomendasi seorang dokter yang terpercaya-, maka
tidak ada perselisihan diantara ulama tentang bolehnya bagi kedua wanita
tersebut untuk berbuka.
Saat kedua wanita tersebut berbuka di bulan Ramadhan dengan alasan syar’i, apa yang wajib atas keduanya?
Para ulama berselisih tentang kewajiban yang mesti dilakukan keduanya karena meninggalkan puasa Ramadhan.
Diriwayatkan dengan sanad yang shahih dari Ibnu Abbas dan Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhum
bahwa keduanya menyuruh wanita hamil dan wanita menyusui yang berbuka
puasa di bulan Ramadhan untuk membayar fidyah tanpa harus mengqadha’
puasa yang ditinggalkan. Pendapat ini juga adalah pendapat Sa’id bin
Jubair.
Ibnu Abbas memasukkan kedua jenis wanita tersebut ke dalam apa yang Allah maksudkan pada firmanNya,
وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ
“Dan
wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak
berpuasa) membayar fidyah (yaitu) memberi makan seorang miskin.” (QS. Al-Baqarah ayat 184)
Sisi
pendalilannya memasukkan kedua wanita tersebut dalam golongan orang
sakit yang tidak bisa diharapkan kesembuhannya lagi adalah karena akan
selalu berulangnya kehamilan dan penyusuan pada umumnya kaum wanita.
Ibnu Abbas berkata, “Ayat ini adalah keringanan (rukhshah)
bagi laki-laki yang telah lanjut usia dan perempuan yang telah lanjut
usia, sementara mereka tidak mampu berpuasa, maka keduanya berbuka dan
memberi makan satu orang miskin untuk setiap satu hari yang
ditinggalkan. Demikian pula wanita hamil dan wanita menyusui jika
khawatir terhadap anaknya, keduanya berbuka dan memberi makan.” (Riwayat
Abu Dawud)
Pendapat ini diriwayatkan juga dari Ibnu Umar dan tidak ada yang menyelisihinya dari para Shahabat.
Jumhur ulama, termasuk para imam yang empat berpendapat wajibnya qadha’ atas kedua wanita tersebut dengan dalil firman Allah Ta’ala,
فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
“Maka
barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia
berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang
ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.” (QS. Al-Baqarah ayat 184)
Mereka
berkata : Wanita tersebut lebih mirip dengan orang sakit yang masih bisa
diharapkan kesembuhannya, maka ia wajib mengqadha’ jika ia mampu
melakukannya.
Imam
asy-Syafi’i dan Imam Ahmad menambahkan kewajiban mengqadha’ tersebut
dengan kewajiban memberi makan satu orang miskin (kaffarah/fidyah) untuk
setiap satu hari yang ditinggalkan jika berbukanya itu karena kekhawatiran terhadap keselamatan janin atau anak yang disusui.
Adapun
atsar dari Ibnu Umar dan Ibnu Abbas, jumhur memandang bahwa hal itu
adalah tambahan dari kewajiban wanita itu untuk mengqadha’ puasa yang
ditinggalkan.
Sementara
al-Laits dan satu riwayat dari Imam Malik berpendapat bahwa kaffarah
(fidyah) hanya berlaku untuk wanita menyusui, bukan untuk wanita hamil,
karena wanita menyusui memungkinkan baginya untuk menyusukan anaknya
pada wanita lain, tidak seperti wanita hamil. Dikarenakan juga karena
kehamilan berkait langsung dengan wanita hamil, sehingga kekhawatiran
terhadap janin yang ada dalam perutnya sama seperti kekhawatiran
terhadap anggota tubuhnya sendiri yang sakit, sehingga dia dihukumi
seperti orang sakit yang wajib mengqadha’ puasanya di hari yang lain.
Sementara
Atha’ bin Abi Rabah, az-Zuhri, al-Hasan, Sa’id bin al-Musayyib,
an-Nakha’i, al-Auza’i dan Abu Hanifah memandang tidak ada kewajiban
kaffarah atas keduanya, dan hanya wajib mengqadha’ saja.
Mereka berdalil dengan sabda Nabi ﷺ,
إن الله وضع عن المسافر شطر الصلاة وعن الحامل والمرضع الصوم
“Sesungguhnya Allah telah memberi keringanan separuh shalat bagi musafir dan (keringanan) puasa bagi wanita hamil dan menyusui.” (HR. At-Tirmidzi dan an-Nasa’i).
Mereka
berkata : Beliau tidak menyuruh untuk membayar
kaffarah (fidyah), dan juga dikarenakan hal itu adalah berbuka yang
diizinkan karena uzur, maka tidak wajib atasnya kaffarah sebagaimana
berbukanya orang sakit.
Dari
sekian pendapat ulama ini, pendapat pertama lebih dekat kepada atsar
karena diriwayatkan dari pendapat dua orang shahabat yang mulia,
kemudian pendapat terkuat setelahnya adalah pendapat Imam Abu Hanifah
yang hanya mewajibkan qadha’, dan itulah pendapat yang difatwakan oleh al-Lajnah ad-Da’imah
yang diketuai oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baz pada saat itu, dan juga
fatwa yang dipilih oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin. Wallahu a’lam.
Untuk lebih rinci tentang pendapat para ulama silahkan dibaca artikel : Apa yang wajib bagi wanita hamil dan menyusui ketika berbuka di bulan Ramadhan?
Inilah pendapat yang kami pilih dan cenderung padanya. Kami sangat menghargai pendapat yang berbeda dalam persoalan ini.
Tapi yang
perlu diketahui, bahwa seorang muslim harus memilih salah satu dari
pendapat-pendapat tersebut dengan dalilnya dan mengamalkannya tanpa ada
keraguan atau kebimbangan. Jangan sampai ada seseorang yang sesuka
hatinya memilih dan mengamalkan pendapat yang berbeda-beda setiap tahunnya sesuai dengan
hawa nafsu dan kepentingan dirinya tanpa meyakini kebenaran salah satu
dari pendapat tersebut untuk diamalkan.
(Ust. Taufiq Rahman)
————————
Bahan rujukan :
[1] Al-Majmû’, an-Nawawi (VI/178)
[2] Shahîh Fiqh as-Sunnah, Abu Malik (II/125-127)
[3] Fatâwâ fî Ahkâm ash-Shiyâm, al-Utsaimin (hal. 159-164)
[4] Fatwa-fatwa al-Lajnah ad-Dâ’imah, Kerajaan Saudi (X/220, fatwa no. 1453)
[5] Fatwa-fatwa situs islamweb.net
0 tanggapan:
Posting Komentar