31 Agustus 2015
Masuk Islamnya Sekelompok Jin
Rasulullah Muhammad ﷺ
diutus untuk dua alam, jin dan manusia. Jin adalah makhluk yang
tertutup dari pandangan manusia, walaupun mereka memiliki kemampuan
untuk membentuk wujud yang bermacam-macam.
Al-Quran dan as-Sunnah telah memberitakan tentang sekelompok jin yang melihat Rasulullah ﷺ
di Nakhlah ketika beliau sedang menuju Ukkazh –dan sebelumnya, bangsa
jin telah dihalang-halangi untuk mencuri-curi berita di langit dan
mereka berpencar ke seluruh penjuru bumi untuk mencari sebabnya. Mereka
mendengarkan beliau membaca al-Quran ketika mengimami
shahabat-shahabatnya pada shalat Fajar, mereka beriman padanya dan
kembali kepada kaumnya dan berkata,
إنَّا سَمِعْنَا قُرْآنًا عَجَبًا يَهْدِي إلىَ الرُشْدِ فَآمَنَّا بِهِ وَلَنْ نُشْرِكَ بِرَبِّنَا أحَدًا
“Sesungguhnya
kami telah mendengarkan al-Quran yang menakjubkan, (yang) memberi
petunjuk kepada jalan yang benar, lalu kami beriman kepadanya. Dan kami
sekali-kali tidak akan mempersekutukan sesuatu pun dengan Rabb kami.” (QS. Al-Jinn ayat 1-2)
Maka Allah akhirnya menurunkan kepada nabiNya surat al-Jinn.
Allah
hanya mewahyukan kepadanya perkataan jin dan beliau tidak melihat mereka
dan tidak juga sengaja memperdengarkan al-Quran kepada mereka. Setelah
peristiwa itu, jin mengundang Rasulullah ﷺ
sekali lagi ketika beliau sedang berdiam di luar Makkah dengan beberapa
shahabatnya. Beliau pun pergi bersama mereka, memperdengarkan al-Quran
kepada mereka dan memperlihatkan kepada para shahabat jejak-jejak mereka
dan bekas api-api mereka.
(Sumber : as-Sîrah an-Nabawiyyah ash-Shahîhah, Dr. Akram Dhiya’ al-Umari)
27 Agustus 2015
Tidak Mungkin Bersatu di Atas Aqidah yang Rusak
Mungkinkah bersatu dengan perbedaan dalam aqidah dan manhaj?
Jawab :
Tidak
mungkin bersatu dengan perbedaan aqidah dan manhaj. Sebaik-baik contoh
untuk itu adalah keadaan bangsa Arab sebelum diutusnya Rasul ﷺ, dimana
mereka bercerai-berai dan saling menjauh. Ketika mereka masuk ke dalam
Islam, di bawah bendera tauhid, aqidah mereka menjadi satu, manhaj
mereka satu, maka bersatulah kalimat mereka dan tegaklah negara mereka.
Allah telah mengingatkan mereka tentang hal itu dalam firmanNya,
وَاذْكُرُوا
نِعْمَتَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنْتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ
قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَاناً
“Dan
ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu bermusuh-musuhan,
maka Allah mempersatukan hati-hati kamu, lalu menjadilah kamu karena
nikmat Allah orang-orang yang bersaudara.” (QS. Alu Imran ayat 103).
Allah Ta’ala berfirman kepada nabiNya,
لَوْ
أَنْفَقْتَ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعاً مَا أَلَّفْتَ بَيْنَ قُلُوبِهِمْ
وَلَكِنَّ اللَّهَ أَلَّفَ بَيْنَهُمْ إِنَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
“Walaupun
kamu membelanjakan semua (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kamu
tidak dapat mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah telah
mempersatukan hati mereka. Sesungguhnya Dia Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al-Anfal ayat 63).
Allah subhânah tidak akan menyatukan hati orang-orang kafir, murtad dan firqah-firqah (aliran-aliran) sesat untuk selamanya. Allah hanya akan menyatukan hati orang-orang mukmin yang bertauhid.
Allah Ta’ala berfirman tentang orang-orang kafir dan munafik yang menyelisihi manhaj dan aqidah Islam,
تَحْسَبُهُمْ جَمِيعاً وَقُلُوبُهُمْ شَتَّى ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لا يَعْقِلُونَ
“Kamu kira hati mereka itu bersatu sedang hati mereka berpecah-belah. Yang demikian itu karena sungguh mereka adalah kaum yang tiada mengerti.” (QS. Al-Hasyr ayat).
Allah Ta’ala berfirman,
وَلاَ يَزَالُونَ مُخْتَلِفِيْنَ إلاَّ مَنْ رَحِمَ رَبُّكَ
“Mereka senantiasa berselisih pendapat, kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Rabb-mu.” (QS. Hud ayat 118-119).
“Kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Rabb-mu”, mereka adalah pengikut aqidah yang benar dan manhaj yang benar. Merekalah yang selamat dari perselisihan.
Orang-orang
yang berusaha menyatukan manusia dengan kerusakan aqidah (mereka) dan
perbedaan manhaj, dia telah mengusahakan perkara yang mustahil, karena
mengumpulkan dua hal yang berlawanan adalah perkara mustahil.
Tidak akan
mempersatukan hati, tidak akan mempersatukan kalimat kecuali oleh
kalimat tauhid, jika diketahui maknanya dan diamalkan konsekuensinya
secara lahir maupun batin, bukan sekedar mengucapkannya dan menyelisihi
konsekuensinya. (karena jika demikian halnya) saat itu dia tidak akan
bermanfaat.
Oleh : Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan al-Fauzan, anggota Haiah Kibar al-Ulama Kerajaan Arab Saudi.
(Dari kitab : Al Ajwibah al Mufîdah ‘an As-ilah al Manâhij al Jadîdah)
25 Agustus 2015
Hukum Mahram bagi Wanita dalam Perjalanan Haji
Ibadah
haji menjadi wajib atas setiap muslim jika telah terpenuhi lima syaratnya, yaitu Islam, berakal, baligh, merdeka dan memiliki kemampuan
dalam kesehatan fisik, harta dan keamanan perjalanan. Apabila kelima
syarat ini telah ada pada seorang muslim baik laki-laki maupun
perempuan, maka ia dituntut untuk bersegera menunaikannya.
Namun bagi
seorang wanita, ada syarat tambahan disamping lima syarat tersebut,
yaitu adanya mahram yang menemaninya dalam perjalanan haji. Jika wanita
itu tidak bisa mendapatkan mahram, tidak ada kewajiban haji atas
dirinya.
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu ia berkata : Saya mendengar Rasulullah ﷺ bersabda,
لا يخلونَّ رجلٌ بامرأةٍ إلا ومعها ذو محرمٍ، ولا تسافر المرأة إلا مع ذي محرمٍ
“Jangan
sekali-kali seorang laki-laki bersendirian dengan seorang wanita
kecuali bersamanya ada mahram. Dan jangan sekali-kali seorang wanita
melakukan safar kecuali bersama mahram.”
Maka
berdirilah seorang laki-laki dan berkata, “Wahai Rasulullah, istriku
telah pergi untuk berhaji, sementara aku telah mendaftarkan diriku pada
perang ini dan itu.”
Beliau ﷺ bersabda,
انطلقْ فحُجَّ مع امرأتك
“Pergilah, berhajilah bersama istrimu.” (HR. Al-Bukhary dan Muslim)
Pendapat ini adalah pendapat dalam mazhab Hanafiyah dan Hanabilah.
Dalam
mazhab Malikiyah dan Syafi’iyah, mahram bukanlah syarat dalam haji, akan
tetapi mereka mensyaratkan keamanan perjalanan dan adanya kawan
perempuan yang terpercaya. Hal itu berlaku dalam haji yang wajib saja.
Adapun dalam haji yang sunnah, semua sepakat bahwa wanita itu haram
pergi berhaji tanpa mahram.
Sementara
mazhab Dzhahiriyah membolehkan seorang wanita yang tidak memiliki suami
atau mahram, atau suaminya enggan menemaninya, untuk pergi berhaji tanpa
mahram.
Diantara dalil yang mereka gunakan adalah sabda Nabi ﷺ,
يوشك أن تخرج الظعينة من الحيرة تؤم البيت لا جوار معها لا تخاف إلا الله
“Hampir
tiba masanya seorang wanita keluar dari Hirah menuju ke Baitullah,
tidak ada yang menjaganya, dia tidak takut kecuali takutnya kepada Allah.” (HR. Al-Bukhary).
Jawaban untuk hadits ini bahwa hadits tersebut adalah kabar nabawi
tentang apa yang akan terjadi di masa mendatang berkait dengan rasa
aman dan kedamaian, dan tidak ada kaitannya dengan masalah safarnya
seorang wanita tanpa mahram.
Mahram
seorang wanita adalah suaminya atau laki-laki yang haram menikahinya
untuk selamanya disebabkan oleh pertalian nasab seperti saudaranya,
saudara ayah atau ibunya (paman) atau anak saudara/saudarinya; atau oleh
sebab persusuan seperti saudara sepersusuannya, atau oleh sebab
perkawinan seperti suami ibunya (ayat tiri) atau anak suaminya (anak
tiri).
Namun,
jika seandainya terjadi seorang wanita pergi haji tanpa mahram, maka
hajinya sah dan ia berdosa karena melanggar perintah Nabi untuk tidak
melakukan safar tanpa mahram.
Wallahu a’lam.
———————
(Sumber : Shahîh Fiqh as-Sunnah wa Adillatuh)
23 Agustus 2015
Sutrah yang Selayaknya ada Antara Orang Shalat dan Kuburan
Dalam
pertemuan ke XVI Majelis Hai’ah Kibar al-Ulama yang diselenggarakan di
kota Thaif, yang dimulai pada hari Sabtu, 12 Syawwal sesuai kalender
Ummul Qura tahun 1400 H sampai 21 Syawwal, membahas persoalan sutrah
(pembatas shalat) yang selayaknya ada diantara orang shalat dengan
kuburan yang ada di depannya, dengan landasan apa yang telah ditetapkan
pada pertemuan ke XV. Ketika Majelis mempelajari surat Yang Mulia Ketua
Umum Komite Riset Ilmiah, Fatwa, Dakwah dan Penyuluhan yang ditujukan
kepada Sekretaris Jenderal Haiah Kibar al-Ulama no. 5/1/3084 tertanggal
12/10/1399 H, yang redaksinya sebagai berikut :
Dengan
melihat kondisi bagian utara Masjid Ibnu Abbas di Thaif yang tidak
terpisahkan dari kuburan yang terletak di sebelah baratnya kecuali hanya
sebuah dinding masjid, sementara pintu-pintu dan jendela-jendela
sebelah barat menghadap ke arah kuburan, maka mereka menyampaikan
persoalan ini kepada Majelis untuk meminta pendapat dan menuliskan surat
kepada Pemerintah untuk membuatkan jalan yang akan memisahkan antara
masjid dan kuburan. (selesai);
Sementara
anggota lainnya berpendapat bahwa dinding bagian depan masjid telah
mencukupi sebagai sutrah bagi orang yang shalat di dalamnya, karena
orang yang shalat menghadap dinding, dan dinding itu disandarkan pada
masjid bukan pada kuburan. Dikarenakan juga bahwa pembuatan dinding lain
dan pembukaan jalan antara kuburan dan dinding masjid akan
berkonsekuensi pada pembongkaran kubur tanpa ada hal darurat yang
mengharuskan hal tersebut. Akan tetapi, selayaknya ditutup dua pintu
yang berada di dinding itu, dan ditinggikan jendela-jendela yang ada
padanya sehingga orang shalat tidak melihat kuburan, dan dibuatkan pintu
di bagian kecil dari dinding, bukan di depannya yang berada kuburan,
untuk tempat masuknya imam saat Jumat dan tempat masuknya jenazah untuk
dishalatkan.
Dengan
pendapat terakhir yang merupakan pendapat mayoritas anggota Majelis,
maka ditetapkanlah keputusan sesuai dengan pandangan mereka. Wallâhul muwaffiq.
Washallallâhu wasallam ‘alâ abdihî wa rasûlihî Muhammad.
Haiah Kibar al-Ulama
Ketua Majelis :
Abdul Razzaq Afifi
Anggota :
Abdul Aziz
bin Baz, Abdullah bin Muhammad bin Humaid, Abdullah Khayyath, Sulaiman
bin Ubaid, Abdul Aziz bin Shalih, Muhammad bin Ali al-Harakan, Rasyid
bin Khunain, Muhammad bin Jubair, Ibrahim bin Muhammad Alu asy-Syaikh,
Abdullah bin Ghudayyan, Shalih bin Ghushun, Abdul Majid Hasan, Abdullah
bin Qu’ud, Abdullah bin Mani’, Shalih bin Luhaidan.
(Buhûts Hai-ah Kibâr al ‘Ulamâ)
Sumber : Islam Today
21 Agustus 2015
Syarat Wajib Ibadah Haji
Menunaikan
haji adalah impian setiap muslim. Berbeda dengan ibadah-ibadah wajib
lainnya, ibadah haji adalah ibadah “mahal” yang tidak “terjangkau” oleh
sebagian muslim, disebabkan oleh beberapa syarat yang tidak mudah untuk
dipenuhi oleh setiap orang.
Berikut
ini adalah perkara-perkara yang jika terpenuhi pada diri seorang muslim,
maka haji itu menjadi wajib atasnya dan dia dituntut untuk segera
menunaikannya sebagai sebuah kewajiban. Jika perkara-perkara itu belum
terpenuhi, tidak ada kewajiban haji atas dirinya.
1. Islam
2. Berakal
Keduanya adalah syarat sahnya haji seorang muslim. Tidak sah haji yang dilakukan seorang yang kafir atau gila.
3. Baligh
4. Merdeka
Baligh dan merdeka adalah syarat untuk “mencukupi” kewajiban haji seorang muslim (syarth li ijzâ-il hajj),
dan bukan merupakan syarat sah. Dalam artian, jika seorang anak kecil
yang belum baligh dan seorang budak menunaikan haji, maka hajinya sah,
namun haji itu tidak mencukupi dari haji yang wajib dalam Islam (hajjatul islâm).
Dalam
hadits shahih disebutkan bahwa seorang wanita mengangkat anaknya kepada
Nabi ﷺ dan bertanya, “Apakah anak ini bisa berhaji?” Beliau bersabda,
نعم ولكِ أجرٌ
“Iya, dan untukmu pahala.” (HR. Muslim)
Dan Nabi ﷺ juga bersabda,
من حج ثم عتق فعليه حجة أخرى، ومن حج وهو صغير ثم بلغ فعليه حجة أخرى
“Siapa
yang berhaji, kemudian dimerdekakan maka wajib atasnya haji yang lain.
Dan siapa yang berhaji saat kecilnya, kemudian ia baligh maka wajib
atasnya haji yang lain.” (HR. Ibnu Khuzaimah dan al-Hakim, dishahihkan al-Albani dalam Irwâ al-Ghalîl, IV/59)
5. Kemampuan (al-istithâ’ah)
Yang dimaksud dengan istithâ’ah dalam haji adalah,
a. Kesehatan jasmani dan bebas dari penyakit atau cacat yang menghalanginya dari pelaksanaan ibadah haji.
b.
Memiliki kecukupan bekal dan kendaraan selama perjalanan haji hingga
kembalinya. Yaitu kecukupan harta yang melebihi kebutuhan pokok yang
berkait dengan nafkah keluarga dan pembayaran hutang sehingga tidak
mengabaikan dan menelantarkan keluarga dan hak orang lain.
c. Keamanan dalam perjalanan menuju tanah suci yang berkait dengan keamanan diri dan hartanya.
Syarat istithâ’ah
ini merupakan syarat wajib haji dan bukan syarat sahnya. Jika seorang
yang tidak memiliki kemampuan memaksakan untuk menempuh segala kesulitan
dan bisa menunaikan haji maka hajinya sah dan mencukupi.
Jika
syarat-syarat ini telah terpenuhi pada diri seorang muslim, maka haji
telah menjadi wajib atas dirinya, dan hendaknya ia bersegera untuk
menunaikan rukun Islam kelima tersebut dan memenuhi perintah Allah dan
rasulNya.
Allah Ta’ala berfirman,
وَلِلهِ عَلىَ النًاسِ حِجُّ البَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إلَيْهِ سَبِيْلاً وَمَنْ كَفَرَ فَإنَّ اللهَ غَنِيٌّ عَنِ العَالَمِيْنَ
“Mengerjakan
haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang
sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari
(kewajiban haji) maka sesungguhnya Allah Maha kaya (tidak memerlukan
sesuatu) dari semesta alam.”(QS. Alu Imran ayat 97)
Dan Rasulullah ﷺ bersabda,
يا أيها الناس قد فرض الله عليكم الحج فحجوا
“Wahai manusia, sungguh Allah telah mewajibkan atas kalian haji, maka berhajilah.” (HR. Muslim).
18 Agustus 2015
Hadits Dha’îf
Ad-dha’îf adalah lawan kata dari al-qawiyy (kuat).
Menurut
istilah, hadits dha’if adalah hadits yang tidak mengumpulkan sifat
hadits hasan, karena hilangnya salah satu dari syarat-syaratnya.
Istilah dha'if adalah istilah umum yang digunakan untuk semua jenis hadits yang tertolak keshahihannya (al-khabar al-mardûd).
Hadits
dha’if memiliki tingkatan yang berbeda-beda selaras dengan kelemahan
perawinya, sebagaimana halnya dalam hadits shahih. Diantaranya ada
hadits yang adh-dha’îf jiddan, diantaranya adalah al-wâhiy, diantaranya adalah al-munkar, dan yang paling buruknya adalah al-maudhû’ (palsu).
Contoh
dari hadits dha’if adalah hadits yang diriwayatkan Imam at-Tirmidzi dari
jalan “Hakim al-Atsram” dari Abu Tamimah al-Hujaimi, dari Abu Hurairah,
dari Nabi ﷺ, beliau bersabda,
من أتى حائضًا أو امرأةً فى دبرها أو كاهنًا فقد كفر بما أنزل على محمدٍ
“Siapa
yang mendatangi (menggauli) wanita haid, atau mendatangi wanita di
duburnya, atau mendatangi dukun, maka sungguh dia telah kafir terhadap
apa yang diturunkan kepada Muhammad.”
At-Tirmidzi
mengatakan setelah meriwayatkan hadits ini : “Kami tidak mengetahui
hadits ini kecuali dari haditsnya Hakim al-Atsram, dari Abu Tamimah
al-Hujaimi, dari Abu Hurairah.”
Kemudian ia berkata : “Muhammad (yaitu Imam al-Bukhary) mendha’ifkan hadits ini dari sisi sanadnya.”
Hadits ini
dilemahkan karena padanya terdapat rawi yang bernama Hakim al-Atsram
yang dianggap lemah oleh para ulama. Berkata al-Hafidz Ibnu Hajar
tentang orang ini : “Padanya ada kelemahan.”
Hukum Meriwayatkan Hadits Dha’if
Menurut
para ulama hadits dan yang selain mereka, boleh meriwayatkan
hadits-hadits dha’if, dan mengabaikan sanadnya tanpa penjelasan
kelemahannya –selain hadits maudhu’ yang tidak boleh meriwayatkannya
kecuali dengan penjelasan kepalsuannya- dengan dua syarat, yaitu :
1. Tidak berkait dengan aqidah, seperti sifat-sifat Allah
2. Tidak berkait dengan penjelasan hukum-hukum Syari’at yang berkait dengan halal dan haram
Yaitu, boleh meriwayatkannya dalam perkara yang seperti nasehat, targhîb dan tarhîb,
kisah dan yang semacamnya. Pendapat ini diriwayatkan dari sebagian imam
seperti Sufyan ats-Tsauri, Abdurrahman bin Mahdi dan Ahmad bin Hanbal.
Yang perlu diperhatikan, jika Anda meriwayatkannya tanpa penyebutan sanad, selayaknya tidak mengatakan : “Bersabda Rasulullah ﷺ …”. Akan tetapi, ucapkanlah : “Diriwayatkan dari Rasulullah ﷺ …”, atau “Telah sampai kepada kami dari beliau…”, dan yang semacamnya.
Tujuannya, agar jangan sampai memastikan penisbatan hadits tersebut kepada Rasulullah ﷺ sementara Anda mengetahui kelemahannya.
Hukum Mengamalkan Hadits Dha’if
Ulama
berselisih tentang masalah ini. Jumhur ulama mengatakan bolehnya
mengamalkan hadits dha’if dalam keutamaan-keutamaan amal (fadhâ-il al a’mâl), akan tetapi dengan tiga syarat, yaitu :
1. Kelemahannya tidak terlalu berat
2. Hadits itu memiliki asal dalam hadits shahih yang bisa diamalkan
3. Tidak meyakini kebenarannya dari Rasulullah ﷺ saat mengamalkannya, yaitu dengan mengambil prinsip kehati-hatian
Kitab-kitab yang Masyhur dalam Penjelasan Hadits-hadits Dha’if
Untuk kitab yang ditulis berkait dengan penjelasan para perawi yang dha’if seperti kitab adh-Dhu’afâ’ oleh Ibnu Hibban dan Mîzân al-I’tidâl oleh adz-Dzahabi.
Sementara kitab yang ditulis dalam beberapa jenis hadits dha’if secara khusus seperti kitab al-Marâsil oleh Abu Dawud dan kitab al-‘Ilal oleh ad-Daruquthni.
(Taysîr Mushthalah al Hadîts, ath-Thahhan)
15 Agustus 2015
Apa Makna "Fi Sabilillah" bagi Orang yang Berhak Menerima Zakat
Haiah Kibar al-Ulama' dalam simposium V di kota Thaif pada 5/8/1394 H - 22/8/1394 H telah menelaah sebuah pembahasan yang telah disiapkan oleh Lembaga Riset Ilmiah dan Fatwa tentang apa yang dimaksud dengan firman Allah dalam ayat penyaluran zakat : "fi sabilillah"? Apakah yang dimaksudkan adalah orang-orang yang berperang di jalan Allah dan peralatan yang mesti mereka miliki, ataukah ayat itu berlaku umum untuk semua bentuk-bentuk kebaikan?
Setelah mempelajari pembahasan tersebut dan meneliti perkataan para ulama dalam masalah ini, serta mendiskusikan dalil-dalil kelompok yang menafsirkan "fi sabilillah" dalam ayat adalah para pejuang di jalan Allah dan peralatan perang yang mereka butuhkan, dan juga dalil-dalil kelompok yang memperluas makna ayat tersebut dan tidak membatasinya hanya kepada para pejuang sehingga (mereka) memasukkan juga dalam makna ayat itu membangun masjid dan jembatan, mengajarkan ilmu dan mempelajarinya, mengutus da'i dan para penyuluh, dan lain-lainnya dari amal-amal kebajikan; maka mayoritas anggota Majelis mengambil perkataan jumhur ulama dari kalangan ahli tafsir, ahli hadits dan fuqaha', bahwa yang dimaksudkan dengan firmanNya, "wa fi sabilillah" adalah para pejuang yang rela dengan keikutsertaan mereka dalam perangnya serta apa yang mereka perlukan dari persiapan perang.
Jika orang-orang yang berperang itu tidak ada, maka zakat tersebut seluruhnya disalurkan untuk kelompok-kelompok lain (yang berhak menerima zakat) dan tidak boleh menyalurkannya dalam sesuatupun dari fasilitas-fasilitas umum, kecuali jika tidak ada yang berhak menerimanya dari orang-orang fakir dan miskin serta kelompok lainnya (yang berhak menerima) yang disebutkan dalam ayat yang mulia.
Wa billah at-taufiq.
Haiah Kibar al-Ulama (Dewan Ulama-ulama Besar Kerajaan Arab Saudi)
Ketua Majelis :
Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz
Anggota :
Abdullah bin Muhammad bin Humaid
Abdul Razzaq 'Afifi
Shalih bin Luhaidan
Muhammad al-Harakan (menyelisihi dan memiliki pandangan lain)
Abdullah Khayyath (menyelisihi dan memiliki pandangan lain)
Abdul Majid Hasan (menyelisihi dan memiliki pandangan lain)
Abdul Aziz bin Shalih (menyelisihi dan memiliki pandangan lain)
Shalih bin Ghushun (menyelisihi dan memiliki pandangan lain)
Abdullah bin Mani' (menyelisihi dan memiliki pandangan lain)
Sulaiman bin Ubaid
Muhammad bin Jubair
Abdullah Ghudayyan
Rasyid bin Khunain
Ibrahim bin Muhammad Alu asy-Syaikh
11 Agustus 2015
Jangan Shalat di Masjid yang Dibangun diatas Kubur
Diantara bid'ah yang tersebar di banyak negeri-negeri Islam adalah membangun masjid diatas kuburan atau menguburkan mayit di kompleks masjid, khususnya di bagian kiblat masjid.
Perbuatan ini adalah haram dengan dalil-dalil yang shahih dari Nabi ﷺ dan diingkari oleh para ulama.
Dari Abu Martsad al-Ghanawi radhiyallahu 'anhu ia berkata : Saya mendengar Rasulullah ﷺ bersabda,
لا تُصلوا إلىَ القُبور ولا تجلسُوا عليها
"Jangan shalat menghadap kubur dan jangan duduk diatasnya." (HR. Muslim)
Dari Abu Sa'id radhiyallahu 'anhu ia berkata : Saya mendengar Rasulullah ﷺ bersabda,
الأرض كلها مسجد إلا المقبرة والحمام
"Tanah seluruhnya adalah masjid kecuali kuburan dan kamar mandi." (HR. Ahmad, Abu Dawud dan at-Tirmidzi, dishahihkan al-Albani dalam Shahih al-Jami', II/409)
Dan dari Aisyah Ummul Mukminin radhiyallahu 'anha ia berkata : Rasulullah ﷺ bersabda,
لعن الله اليهودَ والنصارىَ اتخذوا قبور أنبيائهم مسَاجد
"Semoga Allah melaknat orang-orang Yahudi dan Nasrani. Mereka telah menjadikan kubur-kubur para nabi mereka sebagai masjid/tempat ibadah."
Berkata Aisyah : Kalau bukan karena persoalan itu, niscaya kubur beliau akan dikeluarkan[1], akan tetapi dikhawatirkan kubur itu akan dijadikan masjid. (HR. al-Bukhary dan Muslim)
Diantara pengingkaran para ulama tentang masalah ini adalah pengingkaran Imam an-Nawawi asy-Syafi'i rahimahullahu[2]. Ia berkata dalam "Syarh al-Muhadzdzab", "Teks perkataan asy-Syafi'i dan para sahabat (imam-imam mazhab) telah bersepakat tentang dibencinya mendirikan masjid diatas kubur, baik mayit (penghuni kubur itu) dikenal dengan keshalihannya atau tidak dengan dalil keumuman hadits-hadits. Berkata asy-Syafi'i dan para sahabat : Dibenci shalat menghadap kuburan, baik si mayit orang shalih atau bukan. Berkata sl-Hafidz Abu Musa : Berkata Imam Abul Hasan az-Za'farani rahimahullahu : Dan tidak boleh shalat menghadap kuburnya. Tidak juga shalat di sisinya untuk bertabarruk dan mengagungkannya!" [3]
Perbuatan mungkar ini juga telah menyeret kepada kemungkaran lainnya yang dilakukan di masjid-masjid Allah; diantaranya adalah bertawassul kepada penghuni kubur untuk penyembuhan orang sakit dan menghilangkan kesulitan, beristighatsah dengannya, thawaf di sekeliling kubur, bercampur baurnya laki-laki dan perempuan, terabaikannya masjid dan shalat-shalat fardhu dan masih banyak lagi.
Yang sangat disayangkan, sebagian orang yang dikenal dengan ilmu dan ketokohannya justru shalat di masjid-masjid tersebut dan tidak mengingkari kemungkaran yang terjadi, yang akhirnya membuat orang-orang awam menjadikan hal itu sebagai pembenaran atas perbuatan syirik dan bid'ahnya.
Sepantasnya seluruh kaum muslimin, baik pemerintah, ulama, para tokoh dan para penuntut ilmu bahu membahu untuk mengingkari dan mengubah kemungkaran yang telah merusak aqidah tauhid dan memperparah tersebarnya syirik di berbagai belahan dunia Islam.
Wallahul musta'an.
------------------------
[1] Yaitu; beliau akan dikuburkan di luar kamar Aisyah radhiyallahu 'anha
[2] Abu Zakaria Yahya bin Syaraf an-Nawawi, wafat tahun 776 H. Seorang ulama panutan dan imam besar dalam mazhab Syafi'i.
[3] Al-Majmu Syarh al-Muhadzdzab, V/206, tahqiq Muhammad Najib al-Muthi'i, cet. Dar Ihya at-Turats al-Arabi, Beirut
08 Agustus 2015
Daging yang Diimpor dari Negara Non-Muslim
Kami mengimpor dari negara asing daging yang telah bersih dari tulang dan belum dimasak (daging mentah). Daging tersebut banyak dikonsumsi karena harganya yang murah. Apakah boleh kami mengkonsumsinya dengan keadaan yang demikian?
Dijawab oleh Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan Al-Fauzan (anggota Dewan Ulama Senior Kerajaan Arab Saudi) hafidzhahullahu :
Daging yang diimpor dari negeri-negeri non-muslim memiliki dua keadaan,
Pertama; daging yang diimpor dari negeri-negeri Kitabiyyah, yakni penduduknya memeluk agama Ahlul Kitab, Yahudi atau Kristen, dan sembelihannya ditangani oleh seorang ahli kitab dengan metode penyembelihan yang syar'i.
Jenis seperti ini halal dengan kesepakatan kaum muslimin dengan dalil firman Allah Ta'ala,
وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُواْ الْكِتَابَ حِلٌّ
لَّكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلُّ لَّهُمْ
"Makanan orang-orang yang diberi Al-Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal bagi mereka." (QS. Al-Maidah ayat 5).
Makna "makanan mereka" adalah sembelihan mereka dengan kesepakatan para ulama, karena yang selain sembelihan halal (bagi kaum muslimin) baik dari ahli kitab atau yang selain mereka, seperti biji-bijian dan tanam-tanaman yang tidak perlu disembelih, dan juga seperti buah-buahan dan lain-lainnya.
Kedua; daging yang diimpor dari negeri-negeri kafir selain ahli kitab, seperti negeri-negeri komunis dan paganis. Yang seperti ini tidak boleh dikonsumsi selama penyembelihannya tidak dilakukan oleh seorang muslim atau ahli kitab.
Apa yang diragukan dari agama penyembelihnya, atau diragukan metode penyembelihannya, apakah disembelih dengan cara yang syar'i atau tidak, maka seorang muslim diperintahkan untuk berhati-hati dan meninggalkan perkara yang samar. Apa yang tidak memiliki syubhat (kesamaran) telah mencukupi dari apa yang samar tersebut. Makanan memiliki bahaya yang besar jika makanan itu buruk, karena dia memberikan asupan makanan dengan kandungan yang buruk. Sembelihan itu sendiri sangatlah penting. Disyaratkan padanya orang yang menyembelih haruslah orang yang layak untuk itu, yaitu seorang muslim atau ahli kitab, dan penyembelihannya dengan metode yang syar'i. Jika tidak terpenuhi dua syarat ini, maka daging itu dihukumi sebagai bangkai, dan bangkai hukumnya haram.
Ringkasnya, daging yang Anda sebutkan, jika daging itu diimpor dari negeri-negeri ahli kitab dan disembelih dengan metode syar'i, maka daging itu halal. Jika disembelih dengan cara yang tidak syar'i seperti disetrum dengan aliran listrik atau yang semacamnya, maka dia haram. Jika urusan ini samar bagi Anda, maka tinggalkan dia dan beralihlah kepada apa yang tidak ada syubhatnya.
05 Agustus 2015
Fase Dakwah Sirriyyah
Dakwah Islam di Makkah dimulai secara sembunyi-sembunyi untuk menghindarkan
fitnah dan bentrok terbuka dengan orang-orang Quraisy yang tidak
menyukai dakwah Islam. Fase ini bermula dengan turunnya firman Allah
Ta’ala,
يَا أيّهَا المُدّثّرْ، قُمْ فَأنْذِرْ، وَرَبَّكَ فَكَبِّرْ
“Hai orang yang berselimut! Bangunlah, lalu berilah peringatan, dan Rabb-mu agungkanlah.” (QS. Al-Mudatstsir ayat 1-3)
firmanNya,
فَاصْدَعْ بِمَا تُؤْمَرُ وَأعْرِضْ عَنِ المُشْرِكِيْنَ
“Dan
sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan
(kepadamu) dan berpalinglah dari orang-orang musyrik.” (QS. Al-Hijr ayat 94)
Dan firmanNya,
وَأنْذِرْ
عَشِيْرَتَكَ الأقْرَبيْنَ، وَاخْفِضْ جَنَاحَكَ لِمَنِ اتّبَعَكَ مِنَ
المُؤْمِنِيْنَ، فَإنْ عَصَوْكَ فَقُلْ إنِّيْ بَرِيءٌ مِمَّا تَعْمَلُوْنَ
“Dan
berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat, dan
rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu, yaitu
orang-orang yang beriman. Jika mereka mendurhakaimu, maka katakanlah :
Sesungguhnya aku tidak bertanggung jawab terhadap apa yang kamu kerjakan.”(QS. Asy-Syu’araa ayat 214-216)
Ibnu Ishaq dan al-Waqidi menyebutkan bahwa fase ini berlangsung selama tiga tahun. Nabi ﷺ berusaha keras untuk mendakwahi orang yang dominan dalam persangkaannya
akan mau menerima agama ini dan merahasiakannya. Ini adalah strategi
untuk kemaslahatan dakwah.
Beliau mengajak istrinya, Khadijah, dan
mendakwahi sahabat dekatnya, Abu Bakr bin Abi Quhafah. Dengan berkah keislaman Abu Bakr,
masuklah ke dalam agama ini sekelompok orang yang diberkahi, generasi
awal dari kelompok yang mula-mula masuk dalam agama Allah (as Sâbiqûn al Awwalûn), radhiyallahu ‘anhum ajma’in.
Diantara mereka itu adalah Utsman bin Affan, az-Zubair bin al-Awwam,
Abdurrahman bin Auf az-Zuhri, Sa’ad bin Abi Waqqash dan Thalhah bin Ubaidillah.
Mereka ini, yang masuk Islam melalui tangan Abu Bakr, termasuk sepuluh
Shahabat yang dijamin Surga.
Yang
mula-mula memeluk agama Allah dari kalangan anak-anak adalah Ali bin Abi
Thalib yang saat itu berumur delapan tahun atau lebih sedikit dari itu.
Termasuk dalam anugerah kemuliaan untuknya karena ia berada dalam
asuhan Rasulullah ﷺ . yang pertama masuk Islam dari kalangan budak dan hamba sahaya adalah Zaid bin Haritsah, orang yang sangat dicintai Rasulullah ﷺ .
Setelah
mereka, masuk ke dalam agama Allah ini gelombang berikutnya yang
menyusul dalam kebahagiaan iman dan ibadah. Generasi Islam yang sangat
mulia, diantaranya Abu Ubaidah bin al-Jarrah, Sa’id bin Zaid, Khabbab
bin al-Arats, Abdullah bin Mas’ud, Asma’ dan Aisyah, dua putri Abu Bakr,
radhiyallahu ‘anhum. Aisyah saat itu masih seorang gadis kecil, sementara Asma telah menikah dengan az-Zubair bin al-Awwam.
Kemudian
gelombang berikutnya lagi; Ja’far bin Abi Thalib bersama istrinya Asma’
bintu Umais, al-Arqam bin Abi al-Arqam, Utsman bin Madzh’un, Ammar bin
Yasir dan Shuhaib bin Sinan ar-Rumi, radhiyallahu ‘anhum.
Dakwah
pada fase ini tidak dilakukan secara terang-terangan di tempat-tempat
perkumpulan atau majelis-majelis. Semuanya dilakukan secara personal dan
bersandar pada kepandaian da’i dalam melihat peluang dalam diri
mad’unya.
Pada fase Makkah ini juga -sebagaimana terlihat dari nama-nama generasi permulaan para shahabat- Islam tersebar di semua klan suku-suku Quraisy secara merata dan tidak secara khusus menjadi bagian suku tertentu saja. Fenomena ini jelas menyelisi karakter kehidupan kesukuan di kota Makkah saat itu.
Abu Bakr berasal dari Bani Taim, Utsman dari Bani Umayyah, az-Zubair dari Bani Asad, Ali dari Bani Hasyim, Abdurrahman bin Auf dari Bani Zuhrah, Sa'id bin Zaid dari Bani Adiy, Utsman bin Madzh'un dari Bani Jumah, dan bahkan sebagian mereka pada fase dakwah ini bukan berasal dari Quraisy.
Abdullah bin Mas'ud dari Hudzail, Ammar bin Yasir dari 'Ans dari Mudzhij, Zaid bin Haritsah dari Bani Kalb, 'Amr bin 'Abasah dari Sulaim, Shuhaib dari Bani an-Namr bin Qasith.
Sejak permulaan dakwah, telah jelas bahwa Islam tidak khusus untuk penduduk Makkah dan Quraisy.
01 Agustus 2015
Seorang Muslim Harus Dikuburkan di Pemakaman Khusus Kaum Muslimin
Sekelompok jamaah kaum muslimin di Brussel, Belgia, merasa terhormat untuk meminta pada Anda fatwa berkenaan dengan penguburan orang-orang muslim di pemakaman Nasrani atau selainnya. Kami telah memutuskan untuk membuat pemakaman Islam di negeri ini, karena Pemerintah Belgia telah meminta dari kami fatwa, (dan) dikarenakan Anda semua telah mengerahkan usaha kalian untuk menyebarkan agama ini. Sambil menunggu jawaban kalian, terimalah dari kami, wahai Mufti, rasa hormat terbesar kami.
Jawab :
Wajib menguburkan orang-orang mati dari kaum muslimin di pemakaman tersendiri untuk mereka dan tidak boleh menguburkan mereka di pemakaman non-muslim.
Berkata Imam asy-Syirazi dalam "al-Muhadzdzab", "Tidak dikuburkan seorang kafir di pemakaman kaum muslimin, dan tidak dikuburkan seorang muslim di pemakaman orang-orang kafir."
Berkata Imam an-Nawawi dalam "al-Majmu'", "Telah bersepakat sahabat-sahabat kami, semoga Allah merahmati mereka, bahwa tidak boleh dikuburkan seorang muslim di pemakaman orang-orang kafir dan tidak dikuburkan seorang kafir di pemakaman kaum muslimin."
Dari itu, telah jelas wajibnya mengkhususkan sebuah tempat untuk menguburkan orang-orang mati dari kaum muslimin di pemakaman yang khusus untuk mereka.
Wa bi_llahi at-taufiq.
Al-Lajnah ad-Daimah li al-Buhuts al-'Ilmiyyah wa al-Ifta' (Lembaga Riset Ilmiah dan Fatwa Kerajaan Arab Saudi), fatwa no. 10508
Kompleks pemakaman Baqi' di Kota Madinah