31 Januari 2016
Kisah Berhala Al-Gharânîq
Setelah berhijrahnya sebagian kaum muslimin ke Habasyah, terjadilah sebuah peristiwa ketika Rasulullah ﷺ
sedang shalat di Masjid al-Haram, beliau membaca surat an-Najm dan
bersujud pada ayat sajdah, dan ikut bersujud pula semua orang yang ada
saat itu kecuali dua orang yang sombong. Dengan kejadian ini,
tersebarlah berita bahwa orang-orang Quraisy telah masuk Islam.
Riwayat-riwayat
mursal yang shahih menyebutkan dari para perawinya, yaitu Sa’id bin
Jubair, Abu Bakr bin Abdirrahman dan Abul ‘Aliyah, bahwa syaitan telah
menyelipkan kepada lisan Rasulullah ﷺ dalam bacaannya itu ungkapan,
تلك الغرانيق العلا، وإن شفاعتهن لترتجى
“Itulah al-Gharaniq yang tinggi. Dan sesungguhnya, syafaat merekalah yang diharapkan.”
Apa yang disebutkan para perawi yang tsiqah (sangat terpercaya) tersebut bertentangan dengan ‘ishmah (kema’shuman) Nabi ﷺ dalam persoalan wahyu, dan bertentangan dengan tauhid yang merupakan prinsip dasar aqidah Islam.
Karenanya, riwayat-riwayat ini tertolak matan
(isi hadits)nya walaupun andaikan datang dari jalan periwayatan yang
banyak, karena ketiga perawi tersebut meriwayatkannya dari beberapa
orang syaikh.
Sangat mungkin sujudnya orang-orang musyrik bersama Rasulullah ﷺ dikarenakan rasa takut disebabkan oleh apa yang telah mereka dengarkan tentang kehancuran umat-umat terdahulu.
Wallahu a'lam.
(Dari kitab as-Sîrah an-Nabawiyyah ash-Shahîhah, I/171-172 dengan ringkas)
30 Januari 2016
Kaligrafi Ayat Al-Quran dalam Bentuk Gambar Burung
Majelis al-Majma’ al-Fiqhi al-Islami (Lembaga Fiqh Islam) dibawah naungan Rabithah al-‘Alam al-Islami
(Liga Muslim se-Dunia), dalam pertemuannya yang ke XII di Makkah
al-Mukarramah pada hari Sabtu, 15 Rajab 1410/10 Februari 1990 – Sabtu,
22 Rajab 1410/17 Februari 1990, telah membahas persoalan penulisan satu
ayat atau beberapa ayat al-Qur’an al-Karim dalam bentuk gambar burung.
Majelis menetapkan dengan ijma’
bahwasannya tidak boleh melakukan hal tersebut, karena hal itu
mempermainkan, meremehkan dan menghinakan Kalâm (firman) Allah subhanahu wa ta’ala.
Ketua : Abdul Azîz bin Abdullâh bin Bâz (Mufti Saudi)
Wakil : Dr. Abdullâh Umar Nashîf (Saudi)
Keanggotaan : Muhammad ibn Jubair
(Saudi), Abdurrahman Hamzah al-Marzûqî (Saudi), Dr. Bakr Abdullâh Abû
Zaid (Saudi), Abdullâh ibn Abdurrahmân al-Bassâm (Saudi), Shâlih bin
Fauzân al-Fauzân (Saudi), Muhammad ibn Abdullâh as-Subail (Saudi),
Mustafâ Ahmad az-Zarqâ (Suriah), Muhammad Ahmad as-Sawwâf (Iraq), Dr.
Yûsuf bin Abdullâh al-Qaradhâwi (Qatar), Dr. Muhammad Rasyîd Râghib
al-Qabbâni (Mufti Lebanon), Abû Bakr Joumi (Nigeria), Dr. Ahmad Fahmî
Abû Sinnah (Mesir), Dr. Muhammad al-Habîb ibnul Khaoujah (Mufti
Tunisia), Mabrûk Mas’ûd al-Awâdi (Aljazair), Dr. Talâl Umar Bâfaqieh
(Saudi).
(Sumber : ar.themwl.org/)
29 Januari 2016
Enggan Mengatakan Dirinya Seorang Salafy
Pertanyaan :
Sebagian
ikhwah da'i kami mengatakan : "Saya enggan untuk mengatakan : Saya
salafy", khawatir jika manusia akan melihat padanya dengan pandangan
hizbiyyah. Apakah ucapan ini benar? Ataukah wajib bagi saya menjelaskan
kepada manusia tentang Salafiyyah?
Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullahu menjelaskan :
Telah
terjadi diskusi antara saya dan seorang penulis Islam yang mereka itu
bersama kita diatas al-Kitab dan as-Sunnah. Saya berharap
saudara-saudara kami penuntut ilmu untuk mengingat diskusi ini, karena
buahnya sangatlah penting.
Saya berkata padanya : "Jika seseorang bertanya kepadamu : Apakah mazhabmu? Bagaimana jawabanmu?"
Ia menjawab : "Muslim."
Saya katakan : "Jawaban itu salah!"
Ia bertanya : "Mengapa?"
Saya katakan : "Jika ada yang bertanya padamu : Apakah agamamu?"
Ia mengatakan : "Saya muslim."
Saya
jelaskan : "Saya, pertama tadi tidak bertanya tentang agamamu. Saya
bertanya tentang mazhabmu. Anda mengetahui bahwa di dunia Islam hari
ini, terdapat mazhab-mazhab yang sangat banyak sekali. Anda bersama kami
dalam menghukumi sebagiannya bukanlah bagian dari Islam ini
secara mutlak, seperti (sekte-sekte) Duruz –misalkan-, Isma'iliyyah, 'Alawiyyah dan yang semacamnya. Walaupun demikian, mereka semua
mengatakan : 'Kami muslim'. Disana ada saja sebagian kelompok yang tidak
mengatakan bahwa sekte-sekte itu telah keluar dari Islam. Namun tidak
diragukan bahwa dia masuk dalam sekte-sekte sesat yang dalam banyak
persoalan telah keluar dari ajaran al-Kitab dan as-Sunnah, seperti
Mu'tazilah, Khawarij, Murji'ah, Jabariyah dan yang semacamnya. Bagaimana
pendapatmu, apakah yang seperti ini ada padamu pada hari ini atau
tidak?"
Ia berkata : "Iya…"
Saya
berkata : "Jika kita bertanya kepada seseorang dari mereka : Apa
mazhabmu?; niscaya dia akan menjawab dengan hati-hati : Saya muslim! ...
Anda muslim dan dia pun muslim. Jadi, kami ingin Anda menjelaskan dalam
jawabanmu itu tentang mazhabmu setelah Islammu dan agamamu."
Ia menjawab : "Kalau begitu, mazhabku adalah al-Kitab adan as-Sunnah."
Saya katakan : "Jawaban ini juga tidaklah cukup!"
Ia bertanya : "Mengapa?"
Saya
katakan : "Karena orang-orang yang telah kita sebutkan tadi, mereka akan
mengatakan tentang diri-diri mereka bahwa mereka adalah kaum muslimin,
dan tidak seorang pun akan berkata : Saya tidak berada diatas al-Kitab
dan as-Sunnah! Misalkan saja, apakah Syi'ah mengatakan : 'Kami
berseberangan dengan al-Kitab dan as-Sunnah?' Bahkan mereka akan
mengatakan : 'Kami berada diatas al-Kitab dan as-Sunnah… Kalianlah yang
telah menyimpang dari al-Kitab dan as-Sunnah!'
Maka,
tidak cukup, wahai Ustadz, untuk mengatakan : Saya muslim diatas
al-Kitab dan as-Sunnah. Tidak boleh tidak, harus ada tambahan lain.
Bagaimana pendapat Anda, apakah boleh kita memahami al-Kitab dan
as-Sunnah dengan pemahaman baru, ataukah kita wajib komitmen dalam
memahami al-Kitab dan as-Sunnah menurut pemahaman as-Salaf ash-Shalih?"
Ia menjawab : "Mesti seperti itu."
Saya
bertanya : "Apakah Anda meyakini bahwa pengikut-pengikut mazhab-mazhab
lain, mereka yang keluar dari Islam dan mendakwakan Islam, dan orang
yang masih berada dalam lingkaran Islam akan tetapi dia menyimpang pada
sebagian hukum-hukumnya; apakah Anda meyakini bahwa mereka mengatakan
bersama Anda dan saya : Kita berada diatas al-Kitab dan as-Sunnah, dan
diatas manhaj as-Salaf ash-Shalih?"
Ia menjawab : "Tidak. Mereka tidak bersama kita."
Saya
katakan : "Kalau demikian, Anda tidak cukup mengatakan : Saya berada
diatas al-Kitab dan as-Sunnah. Mesti ada tambahan lain."
Ia berkata : "Benar."
Saya
berkata : "Kalau begitu, Anda akan mengatakan : 'Diatas al-Kitab dan
as-Sunnah, dan diatas manhaj as-Salaf ash-Shalih'. Sekarang, kita akan
datang kepada sebuah kata ringkas. Saya katakan padanya, dan ia adalah
seorang sastrawan dan penulis, apakah ada satu kalimat dalam bahasa Arab
yang bisa mengumpulkan untuk kita isyarat seluruh kata-kata itu;
muslim, diatas al-Kitab dan as-Sunnah, dan manhaj as-Salaf ash-Shalih,
misalkan : Saya Salafy?"
Ia menjawab : "Memang seperti itu…"
(Jawaban)
saya pun jatuh di tangannya. Inilah jawabannya. Jika seseorang
mengingkarimu, katakanlah padanya seperti ucapan ini yang telah kami
sebutkan : "Engkau siapa?" Dia akan menjawabmu : "Muslim." … dan sempurnakan diskusi itu bersamanya…
Subhânaka_Llâhumma wa bihamdik, asy-hadu an lâ ilâha illâ Anta, astaghfiruka wa atûbu ilaik.
(Dari rekaman kaset berjudul : Hukm Ta'addud al Jamâ'ât al Hizbiyyah)
26 Januari 2016
Fitnah itu Buta, Tuli & Bisu
Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma
bahwa ia didatangi dua orang pada masa terjadinya fitnah (di masa) Ibnu
az-Zubair. Keduanya berkata : Sesungguhnya orang-orang telah bertindak
(dalam fitnah) sementara engkau adalah Ibnu Umar dan shahabat Nabi ﷺ.
Maka apakah yang menghalangimu untuk keluar (berperang)?
Ia berkata : Yang menghalangiku bahwa Allah telah mengharamkan darah saudaraku.
Keduanya berkata : Bukankah Allah telah berfirman,
وَقَاتِلُوهُمْ حَتَّى لَا تَكُونَ فِتْنَةٌ
“Dan perangilah mereka itu hingga tidak ada lagi fitnah”? (QS. Al-Baqarah : 193).
Ibnu Umar
menjawab : Kami dahulu berperang hingga tidak ada lagi fitnah dan agama
menjadi milik Allah. Sementara kalian ingin berperang hingga terjadi
fitnah dan agama menjadi milik selain Allah! (Riwayat al-Bukhary, no.
4513).
Subhanallah!
Betapa besar perbedaan antara orang yang berperang untuk menjadikan
agama seluruhnya menjadi milik Allah dengan orang yang berperang untuk
menimbulkan fitnah diantara kaum muslimin, mengangkat senjata dan
sebagiannya memenggal leher sebagian lainnya, sehingga menjadi lemahlah
wibawa mereka, hilanglah kekuatan mereka, musuh berkuasa atas mereka dan
agama menjadi milik selain Allah.
Semoga Allah melindungi kita dan kaum muslimin dari fitnah, karena fitnah itu buta, tuli dan bisu.
(dari web resmi Syaikh Abdul Razzaq al-Badr hafidzhahullahu)
24 Januari 2016
Wanita yang Haram Dinikahi karena Ikatan Perkawinan
Yaitu
wanita-wanita yang haram dinikahi oleh seorang laki-laki karena
terjadinya ikatan pernikahan yang berkait dengan dirinya, ayahnya atau anaknya. Status pengharaman ini berlaku untuk
selamanya. Dan wanita-wanita tersebut ada empat golongan;
1. Istri Ayah
Para ulama
berijma’ bahwa wanita yang telah dinikahi oleh ayah dalam sebuah akad
pernikahan, walaupun belum digauli, maka wanita itu tidak halal untuk
anaknya untuk selamanya. Demikian juga dengan istri anak, diharamkan
atas ayahnya menikahinya untuk selamanya, walaupun belum digauli.
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma
ia berkata : Dahulu orang-orang Jahiliyah mengharamkan apa yang
diharamkan (dalam pernikahan) kecuali istri ayah dan mengumpulkan antara
dua bersaudari. Maka Allah ‘azza wa jalla menurunkan,
وَلاَ تَنْكِحُوْا مَا نَكَحَ آباؤُكُم مِنَ النِّسَاءِ إِلاَّ مَا قَدْ سَلَفَ
“Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita yang telah dinikahi oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau.”
Dan (firmanNya),
وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ الأُخْتَيْنِ
“Dan (diharamkan atas kamu) mengumpulkan (dalam pernikahan) dua perempuan yang bersaudara.” (QS. An-Nisa ayat 23, diriwayatkan oleh Imam ath-Thabari dalam tafsirnya dengan sanad yang shahih).
Dari Al-Bara’ bin ‘Azib radhiyallahu ‘anhuma
ia berkata : Saya menemui paman saya dan bersamanya ada bendera
(perang). Aku bertanya, “Kemana engkau pergi?” Ia menjawab, “Aku diutus
oleh Rasulullah ﷺ kepada seorang laki-laki yang menikahi istri ayahnya,
dan beliau memerintahkan aku untuk membunuhnya dan merampas hartanya.”
(HR. Abu Dawud, Ad-Darimi, Al-Hakim dan Al-Baihaqi).
2. Ibu dari Istri
Ibu dari
istri haram atas laki-laki tersebut hanya dengan sekedar akad nikah,
walaupun istri itu belum digauli. Demikian pendapat jumhur ulama.
Allah Ta’ala berfirman,
وَأُمَّهَاتُ نِسَائِكُم
“Dan (diharamkan atas kamu) ibu-ibu istrimu (mertua).” (QS. An-Nisa’ ayat 23).
Masuk dalam kategori ini adalah ibu dari ibu istrinya dan ibu dari ayah istrinya.
3. Anak Perempuan Istri
Disyaratkan
dalam pengharaman anak perempuan istri ini adalah jika ibunya telah
digauli. Adapun jika telah terjadi akad dan belum digauli, anak tersebut
halal untuk dinikahi jika telah terjadi perceraian.
Allah Ta’ala berfirman,
وَرَبَائِبُكُمُ
اللَّاتِي فِى حُجُوْرِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللَّاتِي دَخَلْتُمْ
بِهِنَّ فَإِن لَّمْ تَكُوْنُوْا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلاَ جُنَاحَ
عَلَيْكُمْ
“Dan (diharamkan atas kamu) anak-anak perempuan istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri. Tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu menikahinya.” (QS. An-Nisa’ ayat 23).
Masuk dalam pembahasan ini adalah anak perempuan dari anak-anak istri, baik dari anak yang laki-lakinya maupun perempuan.
4. Istri Anak Kandung
Tidak dihalalkan bagi seorang laki-laki menikahi istri anak kandungnya walaupun hanya dengan sekedar terjadinya akad pernikahan.
Allah Ta’ala berfirman,
وَحَلاَئِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِيْنَ مِنْ أَصْلاَبِكُمْ
“Dan (diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu).” (QS. An-Nisa’ ayat 23).
Masuk dalam pembahasan ayat tersebut adalah istri dari anak susu, karena Nabi ﷺ bersabda,
يحرم من الرضاع ما يحرم من النسب
“Diharamkan dari persusuan seperti apa yang diharamkan dari nasab.” (HR. Al-Bukhary).
Untuk
memudahkan permasalahan ini kaedahnya adalah : “Semua kerabat wanita
yang terjalin dari pernikahan halal bagi si laki-laki kecuali empat;
istri ayahnya, ibu istrinya, anak perempuan dari istri yang telah
digaulinya dan istri anak kandungnya”.
Faedah :
Istri ayah
dan istri anak, anak-anak perempuan mereka berdua (anak dari suami yang
lain, bukan anak kandungnya) tidak diharamkan bagi seorang laki-laki.
Karenanya, boleh baginya menikahi putri dari istri ayahnya, sebagaimana
boleh bagi seorang laki-laki menikahi putri dari istri anaknya. Dan
perkara ini adalah kesepakatan para ulama.
Wallahu a’lam.
(Sumber : Shahîh Fiqh as-Sunnah)
22 Januari 2016
Wanita yang Haram Dinikahi karena Nasab
Wanita-wanita yang haram dinikahi oleh seorang laki-laki secara garis besar terbagi dua, yaitu;
1. Yang diharamkan untuk selamanya.
2. Yang
diharamkan untuk waktu tertentu. Seorang laki-laki tidak boleh menikahi
wanita-wanita tersebut untuk sebuah keadaan tertentu, dan jika keadaan
itu telah berakhir, dia boleh menikahi mereka.
Wanita-wanita
yang diharamkan untuk selamanya disebabkan oleh satu dari tiga perkara;
pengharaman karena nasab (garis keturunan), hubungan pernikahan dan karena penyusuan.
Pada pembahasan ini kita akan membahas bagian pertama dari wanita-wanita yang diharamkan dinikahi karena nasab.
Mereka adalah tujuh golongan wanita berikut ini,
1. Ibu;
yaitu wanita yang memiliki keterkaitan dengan seorang laki-laki dalam
hal kelahiran, baik dari sisi ibu maupun ayah, seperti ibu kandungnya,
ibu dari ayahnya dan ibu dari kakeknya baik dari sisi ayah maupun ibu
dan seterusnya (buyut dan yang diatasnya).
2. Anak
perempuan; yaitu wanita yang disandarkan kepada seorang laki-laki karena
kelahiran, seperti putri kandung, putri dari anak-anak perempuannya dan
putri dari anak-anak laki-lakinya dan seterusnya ke bawah (cicit dan
yang dibawahnya).
3. Saudari perempuan, baik saudari seayah seibu, saudari seayah ataupun saudari seibu.
4. Saudari
ayah, dan seterusnya yang diatasnya. Sehingga masuk dalam golongan ini
saudari ayah dari ayahnya dan saudari ayah dari ibunya.
5. Saudari ibu, yaitu saudari-saudari ibunya dan saudari-saudari ibu dari ayahnya (bibi ayahnya dari pihak ibu).
6. Putri saudara laki-laki, dan
7. Putri
saudara perempuan; yang mencakup semua anak-anak perempuan dari
saudara/saudarinya dari semua arah seterusnya hingga ke bawah (anak
perempuan dari keponakan perempuan tersebut, anak perempuan dari
anaknya, dan seterusnya).
Ketujuh jenis wanita ini haram dinikahi oleh seorang laki-laki untuk selamanya dengan kesepakatan para ulama.
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma
berkata, “Diharamkan karena nasab tujuh golongan dan diharamkan karena
sebab pernikahan tujuh golongan.”; kemudian ia membaca firman Allah,
حُرِّمَتْ
عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ
وَخَالاَتُكُمْ وَبَنَاتُ الأَخِ وَبَنَاتُ الأُخْتِ … إلخ
“Diharamkan
atas kamu (menikahi) ibu-ibumu, anak-anak perempuanmu, saudara-saudara
perempuanmu, saudara-saudara perempuan bapakmu, saudara-saudara
perempuan ibumu, anak-anak perempuan dari saudara-saudara laki-lakimu,
anak-anak perempuan dari saudara-saudara perempuanmu…” (dan seterusnya dalam QS. An-Nisa’ ayat 23).
Kaedah
dalam permasalahan ini adalah : “Semua kerabat wanita dari seorang
laki-laki karena pertalian nasab diharamkan atasnya kecuali empat, yaitu
putri saudara ayahnya, putri saudara ibunya, putri saudari ayahnya dan
putri saudari ibunya”.
Keempat jenis wanita itulah yang telah Allah izinkan untuk rasul-Nya dalam firmanNya,
يَا
أَيُّهَا النَّبِيُّ إِنَّا أَحْلَلْنَا لَكَ أَزْوَاجَكَ اللَّاتِي
آتَيْتَ أُجُورَهُنَّ وَمَا مَلَكَتْ يَمِينُكَ مِمَّا أَفَاءَ اللَّهُ
عَلَيْكَ وَبَنَاتِ عَمِّكَ وَبَنَاتِ عَمَّاتِكَ وَبَنَاتِ خَالِكَ
وَبَنَاتِ خَالَاتِكَ اللَّاتِي هَاجَرْنَ مَعَكَ
“Hai
Nabi, sesungguhnya Kami telah menghalalkan bagimu istri-istrimu yang
telah kamu berikan mas kawinya dan hamba sahaya yang kamu miliki yang
termasuk apa yang kamu peroleh dalam peperangan yang dikaruniakan Allah
untukmu, dan (demikian pula) anak-anak perempuan dari saudara laki-laki
bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara perempuan bapakmu, anak-anak
perempuan dari saudara laki-laki ibumu dan anak-anak perempuan dari
saudara perempuan ibumu yang turut hijrah bersama kamu.” (QS. Al-Ahzab ayat 50).
—————–
(Sumber : Shahîh Fiqh as-Sunnah)
20 Januari 2016
Hadits Al-Mudallas
Telah dijelaskan pada pembahasan terdahulu, hadits mardûd (yang tertolak) secara garis besar disebabkan oleh dua hal; yang pertama adalah perawi yang gugur dalam sanad (as saqth min al isnâd), dan yang kedua adalah celaan pada diri sang perawi (ath tha’n fi ar râwi).
As-saqth min al-isnâd terbagi kepada saqth dzhâhir dan saqth khafiy.
Diantara bentuk saqth dzhâhir adalah al-mu’allaq, al-mu’dhal, al-mursal dan al-munqathi’, dan penjelasannya telah berlalu, alhamdulillah.
Adapun saqth khafiy, maka dia terbagi dua bagian yaitu al-mudallas dan al-mursal al-khafiy.
Berikut adalah penjelasannya dan kita mulai dengan pembahasan jenis pertama, al-mudallas.
Al-mudallas (المُدَلَّس) berasal dari kata “tadlîs” yang bermakna menyembunyikan aib suatu barang dari calon pembeli. Asal kata tadlîs diambil dari kata “ad-dalas” yang bermakna gelap atau campuran kegelapan. Seakan-akan al-mudallis (pelaku tadlîs) ingin menggelapkan perkara sebenarnya yang ada pada hadits sehingga hadits tersebut menjadi kabur (mudallas).
Menurut istilah, al-mudallas adalah menyembunyikan aib dalam sanad dan memperbagus lahirnya.
Penjelasannya; seorang mudallis menutupi aib dalam sanad, yaitu inqithâ’
yang terdapat dalam sanad, dengan menggugurkan nama syaikhnya dan
meriwayatkannya langsung dari syaikh syaikhnya (guru dari gurunya), dan
dia membuat siasat untuk menyembunyikan hal itu; membaguskan lahir
sanadnya yaitu dengan menunjukkan kepada orang yang melihat sanad
tersebut seakan-akan sanad itu bersambung (muttashil), tidak ada perawi yang gugur.
Pembagian Tadlîs
Tadlîs secara garis besar terbagi dua;
1. Tadlîs al-isnâd dan
2. Tadlîs asy-syuyûkh.
Tadlîs al-Isnâd (تدليس الاسناد)
Tadlîs al-isnâd
adalah sebuah kasus dimana seorang perawi meriwayatkan sesuatu (hadits)
yang tidak pernah dia dengarkan dari orang yang pernah dia dengarkan
periwayatannya (dalam hadits-hadits lainnya), tanpa secara tegas menyebutkan bahwa
dia pernah mendengarkan (hadits) itu darinya.
Untuk
lebih jelasnya; seorang perawi pernah mendengarkan sebagian hadits dari
seorang syaikh. Kemudian dia meriwayatkan dari syaikh tersebut sebuah
hadits, yang sebenarnya hadits itu tidak pernah dia dengarkan langsung
dari syaikh itu, namun dia dengarkan dari syaikh yang lain, yang
mendengarkannya dari syaikh pertama tadi. Si perawi kemudian
menggugurkan nama syaikh kedua dan meriwayatkannya langsung dari syaikh
pertama dengan redaksi yang mengandung kemungkinan terjadinya
pendengaran tersebut atau yang semacamnya, seperti perkatannya :
“Berkata Syaikh” atau “Dari Syaikh”, untuk memperdayai orang lain bahwa
ia telah mendengarkannya secara langsung. Akan tetapi ia tidak secara jelas
menyebutkan bahwa ia mendengarkan hadits itu dari syaikh tersebut. Dia
tidak mengatakan dengan redaksi periwayatan yang jelas seperti : “Saya
mendengar” atau “Telah menceritakan kepadaku”, yang tujuannya agar
jangan sampai ia menjadi seorang perawi yang berstatus “kadzdzâb” (pendusta). Syaikh yang digugurkan dalam sanad bisa satu atau lebih dari satu orang.
Contoh dari mudallas
adalah apa yang diriwayatkan oleh al-Hakim dengan sanadnya sampai
kepada Ali bin Khasyram ia berkata : “Telah berkata kepada kami Ibnu
‘Uyainah dari az-Zuhri…” Ditanyakan pada Ibnu ‘Uyainah : “Engkau
mendengarnya dari az-Zuhri?” Ia menjawab : “Tidak, dan tidak juga dari
orang yang mendengarkannya dari az-Zuhri… Telah menceritakan kepadaku
Abdurrazzaq, dari Ma’mar, dari az-Zuhri…”
Dalam contoh sanad tersebut, Ibnu ‘Uyainah telah menggugurkan dua perawi antara dirinya dengan az-Zuhri.
Tadlîs at-Taswiyah (تدليس التسوية)
Jenis tadlîs seperti ini sebenarnya termasuk dalam jenis tadlîs al-isnâd.
Tadlîs at-taswiyah[1] adalah riwayat seorang perawi dari syaikhnya, kemudian ia menggugurkan nama seorang perawi dha’if (lemah) diantara dua perawi tsiqah (terpercaya) yang salah satunya pernah berjumpa dengan yang lainnya.
Gambarannya :
seorang tsiqah meriwayatkan sebuah hadits dari seorang perawi dha’if,
dari seorang yang tsiqah. Dan kedua perawi tsiqah tersebut pernah saling
berjumpa. Maka datanglah perawi mudallis yang telah mendengarkan
hadits dari tsiqah pertama, ia menghilangkan/menggugurkan perawi dha’if
yang berada dalam sanad dan menyambungkan sanad dari syaikhnya yang
tsiqah tadi meriwayatkan dari tsiqah yang kedua dengan menggunakan
redaksi periwayatan yang mengandung kemungkinan tersebut. Maka jadilah
seluruh sanad diriwayatkan semuanya oleh perawi-perawi yang tsiqah.
Jenis tadlis
seperti ini adalah jenis yang paling buruk, karena tsiqah yang pertama
bisa saja orang yang tidak dikenali sebagai orang yang suka melakukan tadlis,
sehingga orang yang melihat sanad itu akan mengira bahwa tsiqah
tersebut benar-benar meriwayatkannya dari orang yang tsiqah juga,
sehingga akhirnya dihukumi sebagai hadits shahih. Yang seperti ini
adalah bentuk penipuan yang sangat buruk.
Diantara para perawi yang terkenal suka melakukan tadlis seperti ini adalah Baqiyyah ibnul Walid dan al-Walid bin Muslim.
Contohnya :
Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dalam al-‘Ilal,
ia berkata : Saya mendengar ayahku –dan ia menyebutkan sebuah hadits
yang diriwayatkan oleh Ishaq ibnu Rahoyah, dari Baqiyyah ia berkata :
Telah menceritakan kepadaku Abu Wahb al-Asadi, dari Nafi’, dari Ibnu Umar, hadits,
لا تحمدوا إسلام المرء حتى تعرفوا عقدة رأيه
“Janganlah kamu memuji Islam seseorang hingga kamu mengetahui tentang pokok pemikirannya…”
Ibnu Abi
Hatim berkata : Ayahku berkata : Hadits ini memiliki perkara yang
sedikit orang memahaminya. Hadits ini diriwayatkan oleh Ubaidullah bin ‘Amr, dari Ishaq bin Abi Farwah[2], dari Nafi’[3], dari Ibnu Umar, dari Nabi ﷺ.
Ubaidullah bin ‘Amr tsiqah. Kuniyahnya
Abu Wahb, berasal dari Bani Asad (al-Asadi). Maka Baqiyyah menggunakan
kuniyahnya dan menisbatkannya kepada Bani Asad agar tidak ada yang
mengenalinya, sehingga ketika Baqiyyah menggugurkan Ishaq bin Abi Farwah
(yang dha’if), tidak ada yang menyadarinya.
Tadlîs asy-Syuyûkh (تدليس الشيوخ)
Tadlîs asy-syuyûkh
adalah seorang perawi meriwayatkan dari syaikhnya sebuah hadits yang ia
dengarkan langsung darinya, dan ia menyebutkan nama syaikhnya tersebut,
atau kuniyahnya, atau menisbatkannya atau mensifatkannya dengan nama,
kuniyah, penisbatan atau sifat yang syaikh tersebut tidak terkenal
dengannya yang memang tujuannya agar ia tidak dikenali.
Jadi pada
hakikatnya, dalam kasus ini tidak ada perawi yang digugurkan dan sanad
tetap bersambung, namun ada usaha untuk menutupi nama syaikh yang
sebenarnya, kuniyahnya atau sifatnya.
Itulah yang diinginkan oleh mudallis (pelaku
tadlîs); mensifatkan gurunya dengan sesuatu yang tidak atau kurang
dikenali agar tidak dikenali.
Hal ini ia lakukan dikarenakan aib yang
bisa merusak reputasinya sebagai perawi hadits, seperti status “lemah” (dha’f) yang ada pada diri syaikh, atau karena usia syaikhnya yang lebih muda dari si perawi dan lain-lain.
Contohnya
adalah perkataan Abu Bakr bin Mujahid, seorang imam ahli qira’ah. Ia
meriwayatkan dari Abu Bakr Abdullah bin Abu Dawud as-Sijistani dan
berkata, “Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Abi Abdillah…”;
dan ia meriwayatkan dari Abu Bakr Muhammad bin al-Hasan an-Naqqasy dan
berkata, “Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Sanad…”, dengan
menisbatkannya kepada nama kakeknya.
Hukum Tadlîs
Tadlîs al-isnâd
sangatlah dibenci. Banyak ulama yang mencelanya. Syu’bah adalah salah
satu imam yang sangat membenci perbuatan tersebut. Diantara perkataan
Syu’bah tentang tadlîs adalah : “Tadlîs adalah saudara kedustaan.”
Tadlîs at-taswiyah
lebih buruk statusnya dari tadlîs al-isnâd. Al-Iraqi mengatakan tentang
perbuatan ini : “Tadlîs taswiyah merupakan cela/aib bagi orang yang
sengaja melakukannya.”
Adapun tadlîs asy-syuyûkh,
maka statusnya lebih ringan daripada tadlîs al-isnâd, karena mudallis
tidak menggugurkan seorang pun dari sanad. Para ulama membenci tadlîs
jenis ini disebabkan pengabaian terhadap riwayat dengan menyembunyikan
hakikat sebenarnya dari sanad terhadap orang yang mendengarkan riwayat
tersebut. Berat tidaknya status ketidak-sukaan ulama terhadap tadlîs
jenis ini akan berbeda sesuai dengan motif si pelaku tadlîs.
(Taysîr Mushthalah al Hadîts, ath-Thahhan)
————————
Footnotes :
[1] Dari kata ( سَوَّى/يُسَوِّي ) yang bermakna menyama-ratakan
[2] Dha’if
[3] Ubaidullah tsiqah sebagaimana disebutkan, Nafi’ seorang tabi’i yang tsiqah.
17 Januari 2016
Hijrah ke Habasyah
Hijrah ke Habasyah pertama kali terjadi pada bulan Rajab tahun kelima
setelah kenabian menurut pendapat banyak ulama.
Jumlah mereka yang berhijrah adalah 12 orang laki-laki
dan 4 wanita. Pemimpin mereka adalah Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu dan ikut besertanya juga istrinya, Ruqayyah putri Rasulullah ﷺ.
Ikut dalam
rombongan tersebut; Abu Salamah dan istrinya, Ummu Salamah; Abu Sabrah bin
Abi Ruhm dan istrinya, Ummu Kultsum; Amir bin Rabi’ah dan istrinya,
Laila; Abu Hudzaifah bin Utbah bin Rabi’ah dan istrinya, Sahlah bintu
Suhail; Abdurrahman bin Auf, Utsman bin Mazh’un, Mush’ab bin Umair,
Suhail bin al-Baidha’ dan az-Zubair bin al-Awwam. Sebagian besar mereka
berasal dari Quraisy.
Ketika
tiba di pantai Laut Merah, mereka menyewa sebuah kapal yang menyeberangkan mereka ke
tempat tujuan, dan berdiam di Habasyah dalam damai dan aman dari
penindasan orang-orang musyrik di bawah perlindungan seorang raja Nasrani yang
adil dan kemudian masuk Islam, an-Najasyi.
Termasuk shahabat yang berniat hijrah ke Habasyah adalah Abu Bakr ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu.
Ketika ia sampai di Bark al-Ghimad, ia berjumpa dengan Ibnu
ad-Daghinnah, penghulu suku al-Qârrah. Ibnu ad-Daghinnah bertanya, “Akan
kemana engkau, wahai Abu Bakr?”
Abu Bakr menjawab, “Kaumku telah mengusirku dan aku ingin berjalan di muka bumi agar bisa beribadah kepada Rabb-ku.”
Ibnu
ad-Daghinnah berkata, “Orang yang sepertimu tidak boleh keluar dan tidak
layak dikeluarkan. Engkau suka membantu orang yang susah, menjalin
silaturrahim, menanggung beban, menjamu tamu dan membantu dalam
kebenaran. Aku memberimu jaminan keamanan. Kembalilah, dan beribadahlah
kepada Rabb-mu di negerimu!”
Kembalilah
Abu Bakr bersama Ibnu ad-Daghinnah yang mengumumkan jaminannya untuk
Abu Bakr kepada Quraisy. Orang-orang Quraisy sepakat dengan jaminan itu
dengan syarat Abu Bakr beribadah dalam rumahnya dan tidak terang-terangan.
Waktu pun berlalu, dan mulailah Abu Bakr membaca al-Quran di halaman
rumahnya. Para wanita dan anak-anak berkumpul mengagumi bacaannya dan
memperhatikannya. Abu Bakr adalah seorang yang lembut dan mudah
menangis. Ia tidak akan sanggup menahan air matanya saat membaca
al-Quran.
Quraisy pun panik dengan kejadian itu dan meminta Ibnu
ad-Daghinnah untuk mencegahnya. Ibnu ad-Daghinnah memberikannya pilihan
untuk menyembunyikan ibadahnya atau mengembalikan jaminannya. Abu Bakr
akhirnya mengembalikan jaminannya dan berkata, “Aku kembalikan
jaminanmu, dan aku ridha dengan perlindungan Allah.”
Semoga Allah meridhainya, dan meridhai para shahabat Nabi ﷺ.
(Disadur dari as-Sîrah an-Nabawiyyah ash-Shahîhah, Dr. Akram Dhiya' al-'Umari)
16 Januari 2016
Suka Ketenaran dan Pujian
Mencari
ketenaran dan popularitas tercela dalam semua keadaannya. Seorang mukmin
adalah orang yang rendah hati, tidak menyukai ketenaran. Termasuk
perkara yang sangat merusak pribadi seseorang dalam usahanya untuk
menuju kepada Rabb-nya adalah cintanya terhadap popularitas, ingin
dimuliakan manusia dan suka jika pribadinya memiliki ketokohan di
kalangan mereka.
At-Tirmidzi meriwayatkan dalam kitab Al-Jâmi’ dari Ka’ab bin Malik radhiyallahu ‘anhu ia berkata : Rasulullah ﷺ bersabda,
مَا ذِئْبَانِ جَائِعَانِ أُرْسِلَا فِي غَنَمٍ بِأَفْسَدَ لَهَا مِنْ حِرْصِ الْمَرْءِ عَلَى الْمَالِ وَالشَّرَفِ لِدِينِهِ
“Tidaklah
dua serigala lapar yang dilepaskan dalam kumpulan kambing lebih
berbahaya untuk kambing-kambing itu daripada ketamakan seseorang
terhadap harta dan kedudukan dalam agamanya.” (Dishahihkan Al-Albani dalam Shahîh Al-Jâmi’ no. 5620).
Dan
diantara peyakit besar dalam cinta ketenaran dan kemuliaan tersebut
adalah mencari-cari pujian manusia untuk dirinya, entah itu dalam
persoalan kebenaran atau kebatilan.
Imam Ahmad meriwayatkan dari Mu’awiyah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata : Saya mendengar Rasulullah ﷺ bersabda,
إِيَّاكُمْ وَالتَّمَادُحَ فَإِنَّهُ الذَّبْحُ
“Jauhilah oleh kalian saling memuji, karena pujian itu adalah sembelihan.” (Dihasankan Al-Albani dalam As-Silsilah Ash-Shahîhah no. 1196 dan 1284).
Cinta
ketenaran dan popularitas adalah penyakit yang sangat halus dan
tersembunyi dalam jiwa. Penyakit yang akan menghancurkan hati yang
sering tidak disadari oleh seorang hamba kecuali setelah ia melangkah
jauh di dalamnya hingga akhirnya sulit baginya memperbaiki apa yang
telah dirusak oleh penyakit tersebut.
Berkata Bisyr bin al-Harits rahimahullahu, “Tidak akan mendapatkan manisnya akhirat seseorang yang suka dikenali oleh manusia.” (At-Tawâdhu’ wa Al-Khumûl, Ibn Abi ad-Dunia, hal. 72).
Berkata Ayyub as-Sakhtiyani rahimahullahu, “Tidak mungkin seorang hamba benar-benar jujur, dan dia masih suka ketenaran.” (Siyar A’lâm An-Nubalâ’, adz-Dzahabi, VI/20).
Berkata Imam adz-Dzahabi rahimahullahu,
“Selayaknya seorang berilmu berbicara dengan niat dan tujuan yang
benar. Jika ucapannya membuatnya kagum, hendaknya dia diam. Jika diam
membuat kagum, hendaknya dia berbicara. Dan jangan pernah berhenti untuk
introspeksi diri, karena diri itu menyukai popularitas dan pujian.” (Siyar A’lâm An-Nubalâ’, IV/494).
Imam Muslim meriwayatkan dalam kitab Ash-Shahîh,
dari ‘Âmir bin Sa’ad, ia berkata : Dahulu Sa’ad bin Abi Waqqash
menggembala unta-untanya. Ia didatangi oleh putranya, Umar. Ketika Sa’ad
melihatnya, ia berkata, “Aku berlindung kepada Allah dari keburukan
penunggang ini.” Umar turun dari tunggangannya dan berkata, “Engkau diam
bersama unta dan kambingmu, dan engkau biarkan manusia memperebutkan
kekuasaan di antara mereka?” Sa’ad memukulnya di dadanya dan berkata,
“Diamlah! Aku telah mendengar Rasulullah ﷺ bersabda,
إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْعَبْدَ التَّقِيَّ الْغَنِيَّ الْخَفِيَّ
Sesungguhnya Allah menyukai seorang hamba yang bertakwa, kaya dan tersembunyi.”
Syaikh Muhammad Al-Utsaimin rahimahullahu berkata “Al-Khafiy
adalah orang yang tidak menampakkan dirinya. Tidak mempedulikan untuk
menampilkan dirinya di hadapan manusia, ditunjuk dengan jari atau
diperbincangkan manusia. Engkau akan dapatkan dia dari rumahnya ke
masjid, dari masjidnya ke rumah, dari rumahnya ke kerabat atau
saudaranya, dia menyembunyikan dirinya.” (Syarh Riyâdh Ash-Shâlihîn, hal. 629).
Al-Fudhail bin 'Iyadh bernasehat untuk diri-diri kita, “Jika
engkau mampu untuk tidak dikenali, lakukanlah. Apa bebanmu jika engkau tidak
dikenal? Apa bebanmu jika engkau tidak dipuji? Apa bebanmu hina dalam
pandangan manusia jika engkau terpuji di sisi Allah ‘azza wa jalla?”
(At-Tawâdhu’ wa Al-Khumûl oleh Abu Bakr Al-Qurasyi, hal. 43).
Semoga Allah menjaga kita dari keburukan syaitan dan keburukan diri-diri kita sendiri.
13 Januari 2016
Makna As-Salaf & As-Salafiyyah
As-Salaf
menurut bahasa adalah apa yang sudah berlalu. As-Salaf adalah kelompok
orang yang terdahulu, yaitu satu kaum yang sudah mendahului dalam
kehidupan ini.
Dalam
kamus, as-Salaf yaitu siapa yang telah mendahuluimu dari bapak-bapakmu
dan kerabatmu yang mereka itu lebih tua darimu dalam usia dan keutamaan.
[1]
Dalam
istilah, jika disebutkan as-Salaf dalam pandangan ulama aqidah maka
definisi mereka akan beredar pada makna Shahabat, atau Shahabat dan
Tabi’in, atau Shahabat, Tabi’in dan para pengikut mereka dari kalangan
generasi terbaik; para imam yang dipersaksikan imamahnya mereka, keutamaan, ittiba’
kepada Sunnah dan ketokohannya dalam Sunnah, menjauhi bid’ah dan
kewaspadaan mereka darinya, yang telah disepakati oleh umat ini akan
kepemimpinan mereka dan agungnya urusan mereka dalam agama ini. Karena
itu, generasi awal umat ini disebut as-Salaf ash-Shalih.
Allah Ta’ala berfirman,
وَمَن
يُشاقِقِ الرَسُولَ مِن بَعْدِ مَا تَبَيّنَ لهُ الهُدَى وَيَتّبعْ غَيْرَ
سَبِيْلِ المُؤْمِنِيْنَ نُوَلّهِ مَا تَوَلىَّ وَنُصْلِهِ جَهَنّمَ
وَسَاءَتْ مَصِيْرًا
“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. An-Nisa ayat 115)
Juga firmanNya,
وَالسَابِقُونَ
الأوَّلُوْنَ مِنَ المُهَاجِريْنَ وَالأنْصَارِ وَالذِيْنَ اتّبَعُوهُمْ
بإحْسَانٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ
تَجْرِيْ تَحْتهَا الأنْهَارُ خالِدِيْنَ فِيْهَا أبَدًا ذلِكَ الفَوْزُ
العَظِيْمُ
“Orang-orang
yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) diantara
orang-orang Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka
dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada
Allah, dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir
sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.” (QS. At-Taubah ayat 100)
Dan Rasulullah ﷺ bersabda,
خير الناس قرني ثم الذين يلونهم ثم الذين يلونهم
“Sebaik-baik manusia adalah generasiku, kemudian yang datang setelah mereka, kemudian yang datang setelah mereka.” (HR. Al-Bukhary dan Muslim).
Rasulullah ﷺ,
para Shahabatnya dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik,
merekalah Salaf umat ini. Dan setiap orang yang mengajak kepada seperti
apa yang didakwahkan oleh Rasulullah ﷺ, para Shahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, maka dia berada diatas manhaj (metode/jalan) para Salaf.
Batasan
zaman bukanlah syarat dalam masalah ini. Bahkan, yang menjadi syarat
adalah keselarasan dengan al-Kitab dan as-Sunnah dalam aqidah, hukum dan
akhlak sesuai dengan pemahaman Salaf. Siapa saja yang sejalan dengan
al-Kitab dan as-Sunnah maka dia termasuk pengikut as-Salaf, walaupun
berjauhan tempat dan zaman antara dirinya dengan mereka. Siapa yang
menyelisihi mereka, maka dia bukan bagian mereka walaupun dia hidup
diantara mereka.
Makna
istilah Salaf dimaksudkan atas siapa saja yang mengikuti dan meneladani
as-Salaf ash-Shalih, yang berjalan diatas jalan mereka pada sepanjang
masa. “Salafy” adalah penisbatan kepada mereka, untuk membedakan antara
dirinya dengan siapa saja yang menyelisihi manhaj para Salaf dan
mengikuti yang selain jalan mereka.
Allah Ta’ala berfirman,
وَمَن
يُشاقِقِ الرَسُولَ مِن بَعْدِ مَا تَبَيّنَ لهُ الهُدَى وَيَتّبعْ غَيْرَ
سَبِيْلِ المُؤْمِنِيْنَ نُوَلّهِ مَا تَوَلىَّ وَنُصْلِهِ جَهَنّمَ
وَسَاءَتْ مَصِيْرًا
“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin,
Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu
dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk
tempat kembali.” (QS. An-Nisa ayat 115).
Dan tidak ada kelapangan bagi seorang muslim kecuali berbangga dengan penisbatan dirinya kepada mereka.
Kata “As-Salafiyyah” telah menjadi sebuah nama untuk thariqah
(jalan/metode)nya para as-Salaf ash-Shalih dalam mempelajari Islam ini,
memahami dan mengamalkannya. Dengan ini, paham as-Salafiyyah
dimaksudkan atas setiap orang yang komitmen dengan Kitab Allah, dan apa
yang shahih dari Sunnah Rasul ﷺ, komitmen yang sempurna menurut pemahaman para Salaf. [2]
———————
[1] Silahkan rujuk ke Tâjul ‘Arûs, Lisânul ‘Arab dan al-Qâmûs al-Muhîth
[2] Disadur dari al-Wajîz fî Aqîdah as-Salaf ash-Shâlih, Ahl as-Sunnah wa al-Jamâ’ah
[2] Disadur dari al-Wajîz fî Aqîdah as-Salaf ash-Shâlih, Ahl as-Sunnah wa al-Jamâ’ah
12 Januari 2016
Iman kepada Takdir Allah
Iman kepada takdir (al-qadha' wa al-qadar) adalah meyakini dengan keyakinan yang kuat dan kokoh bahwa setiap kebaikan dan
keburukan terjadi dengan ketentuan dan ketetapan Allah Ta’ala, dan Allah
berbuat apa yang Dia kehendaki. Segala sesuatu dengan irâdah
(kehendak)Nya dan tidak ada yang keluar dari keinginan dan
pengaturanNya. Dia mengetahui setiap apa yang telah terjadi, dan segala
apa yang akan terjadi sebelum hal itu terjadi dalam ilmuNya yang azali
(ada tanpa permulaan). Dia menetapkan takdir segala sesuatu di alam ini
sesuai dengan dengan apa yang ada dalam pengetahuanNya dan konsekuensi
dari hikmahNya. Dia mengetahui keadaan para hamba, rezki-rezki mereka,
ajal-ajal mereka, perbuatan mereka dan lain-lain dari urusan-urusan
mereka. Allah Ta’ala berfirman,
وَكانَ أمْرُ اللهِ قَدَرًا مَقْدُورًا
“Dan adalah ketetapan Allah itu suatu ketetapan yang pasti berlaku.” (QS. Al-Ahzab ayat 38).
Dia juga berfirman,
إنّا كُلَّ شَيْئٍ خَلَقْنَاهُ بِقَدَرٍ
“Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut kadarnya.” (QS. Al-Qamar ayat 49).
Dan Nabi ﷺ bersabda,
لا يؤمن عبدٌ حتى يؤمن بالقدر خيره وشرّه من الله وحتى يعلم أن ما أصابه لم يكن ليخطئه وأنّ ما أخطأه لم يكن ليصيبه
“Tidaklah
seorang hamba beriman hingga dia beriman kepada takdir, baik dan
buruknya berasal dari Allah. Dan hingga dia mengetahui bahwa apa yang
akan menimpanya tidak akan pernah meleset darinya, dan apa yang
dihindarkan darinya tidak akan bakal menimpanya.” (HR. At-Tirmidzi dan dishahihkan Al-Albani).
Iman
kepada takdir tidak akan sempurna tanpa empat perkara yang disebut
tingkatan takdir atau rukun-rukunnya. Perkara-perkara ini adalah
pengantar untuk memahami persoalan takdir. Tidak akan sempurna iman
terhadap takdir kecuali dengan mewujudkan seluruh rukun-rukunnya
tersebut, karena sebagiannya akan berkait dengan sebagian lainnya.
Pertama : Ilmu (al-‘ilm)
Yaitu
mengimani bahwa Allah Maha Mengetahui segala apa yang telah terjadi, apa
yang akan terjadi, apa yang belum terjadi dan bagaimana kalau hal itu
terjadi, secara global maupun terperinci. Dia Maha Mengetahui apa yang
bakal dilakukan para hamba sebelum penciptaan mereka, mengetahui rezki,
ajal dan perbuatan mereka, mengetahui gerak dan diamnya mereka,
mengetahui yang celaka dan bahagia diantara mereka, dan yang demikian
itu dengan ilmuNya yang qadîm, yang Dia disifatkan dengannya semenjak azali. Allah Ta’ala berfirman,
إنَّ اللهَ بِكُلِّ شَيْئٍ عَلِيْمٌ
“Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. At-Taubah ayat 115).
Kedua : Penulisan (al-kitâbah)
Yaitu mengimani bahwa Allah telah menuliskan segala apa yang ada dalam ilmuNya dari ketetapan takdir para hamba di al-Lauh al-Mahfuzh,
sebuah kitab yang tidak ada kelalaian sedikit pun padanya. Segala apa
yang terjadi dan bakal terjadi di alam ini hingga Hari Kiamat, telah
tertulis di sisi Allah Ta’ala dalam Ummul Kitâb, dan dinamakan juga
adz-Dzikr, al-Imâm dan al-Kitâb al-Mubîn. Allah Ta’ala berfirman,
وَكُلّ شَيْئٍ أحْصَيْنَاهُ فى إمَامٍ مُبِيْنٍ
“Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata.” (QS. Yasin ayat 12)
Dan Nabi ﷺ bersabda,
إن أول ما خلق الله القلم فقال : اكتب، فقال : ما أكتب؟ قال : اكتب القدر ما كان وما هو كائنُ إلى الأبد
“Sesungguhnya
yang pertama Allah ciptakan adalah al-Qalam (pena). Dia berfirman :
Tulislah! Al-Qalam berkata : Apa yang aku tulis? Allah berfirman :
Tulislah takdir, apa yang terjadi dan apa yang bakal terjadi untuk
seterusnya.” (HR. At-Tirmidzi, dishahihkan Al-Albani).
Ketiga : Kehendak (al-irâdah wa al-masyî’ah)
Bahwa
setiap apa yang terjadi di alam ini, maka itu terjadi dengan kehendak
Allah dan keinginanNya yang beredar antara kasih sayang dan hikmahNya.
Dia memberikan petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki dengan kasih
sayangNya, dan menyesatkan siapa yang Dia kehendaki dengan hikmahNya,
dan Dia tidak ditanya atas apa yang diperbuatNya karena kesempurnaan
hikmah dan kekuasaanNya tersebut. Semua itu terjadi selaras dengan
pengetahuanNya yang qadim, yang tercatat dalam al-Lauh
al-Mahfuzh. KehendakNya pasti terwujud. Tidak ada sesuatu pun yang lepas
dari kehendakNya. Allah Ta’ala berfirman,
وَمَا تشاءُونَ إلاّ أنْ يَشاءَ الله رَبُّ العَالمِيْنَ
“Dan kamu tidak dapat menghendaki kecuali apabila dikehendaki Allah, Rabb semesta alam.” (QS. At-Takwir ayat 29).
Nabi ﷺ bersabda,
إن قلوب بني آدم كلها بين إصبعين من أصابع الرحمن كقلب واحد يصرّفه حيث يشاء
“Sesungguhnya
hati-hati anak-anak Adam seluruhnya berada diantara dua jari dari
jari-jari Ar-Rahman, seperti sebuah hati yang satu. Dia mengaturnya
bagaimana saja Dia kehendaki.” (HR. Muslim).
Keempat : Penciptaan (al-khalq)
Yaitu
mengimani bahwa Allah adalah pencipta segala sesuatu. Tidak ada khâliq
(pencipta) selain Dia, dan tidak ada Rabb selain Dia. Segala sesuatu
yang selain Dia adalah makhluk (yang diciptakan). Dia-lah pencipta
setiap yang berbuat dan perbuatannya, setiap yang bergerak dan
gerakannya. Allah Ta’ala berfirman,
وَخَلَقَ كلَّ شَيْئٍ فَقَدّرَهُ تقْدِيْرًا
“Dan Dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya.” (QS. Al-Furqan ayat 2)
Segala apa
yang terjadi dari kebaikan dan keburukan, kekafiran dan keimanan,
ketaatan dan maksiat, semuanya telah dikehendakiNya, ditetapkanNya dan
diciptakanNya. Allah Ta’ala berfirman,
وَمَا كانَ لِنَفْسٍ أنْ تؤْمِنَ إلا بإذْنِ اللهِ
“Dan tidak ada seorang pun akan beriman kecuali dengan izin Allah.” (QS. Yunus ‘alaihissalam ayat 100).
قُل لَن يُصِيْبَنَا إلا مَا كَتَبَ اللهُ لَنَا
“Katakanlah : Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan oleh Allah bagi kami.” (QS. At-Taubah ayat 51).
Allah
menyukai ketaatan dan membenci maksiat. Dia memberi petunjuk kepada
siapa yang Dia kehendaki dengan keutamaan yang datang dariNya, dan Dia
menyesatkan siapa yang Dia kehendaki dengan keadilanNya.
إنْ
تكفُرٌوا فَإنّ الله غنيٌّ عَنْكمْ وَلا يَرْضىَ لِعِبَادِهِ الكُفْرَ
وَإنْ تَشْكرُوا يَرْضَهُ لَكمْ وَلا تزرُ وَازرَةٌ وزْرَ أخْرىَ
“Jika
kamu kafir maka sesungguhnya Allah tidak memerlukan (iman)mu dan Dia
tidak meridhai kekafiran bagi hambaNya; dan jika kamu bersyukur, niscaya
Dia meridhai bagimu kesyukuranmu itu; dan seorang yang berdosa tidak
akan memikul dosa orang lain.” (QS. Az-Zumar ayat 7).
Tidak ada
argumen dan uzur bagi orang yang telah Dia sesatkan, karena Allah telah
mengutus para rasul untuk menyampaikan hujjahNya. Dan Dia telah
menyandarkan pekerjaan seorang hamba kepada dirinya sendiri dan
menjadikannya sebagai usahanya sendiri, Dia tidak membebankan kecuali
apa yang dalam kemampuan hamba tersebut.
اليَوْمَ تُجْزَى كلُّ نَفْسٍ بِمَا كَسَبَتْ لا ظُلْمَ اليَوْمَ
“Pada hari ini tiap-tiap jiwa diberi balasan dengan apa yang diusahakannya. Tidak ada yang dirugikan pada hari ini.” (QS. Ghafir ayat 17).
لا يُكلفُ اللهُ نَفْسًا إلاّ وُسْعَهَا
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS. Al-Baqarah ayat 286)
Akan
tetapi, keburukan tidak dinisbatkan/disandarkan kepada Allah karena
kesempurnaan kasih sayangNya. Karena Dia telah menyuruh kepada kebaikan
dan melarang dari keburukan. Keburukan itu hanyalah ada pada
konsekuensinya dan juga terjadi dengan hikmah dan kebijaksanaanNya.
مَا أصَابَكَ مِن حَسَنَةٍ فَمِنَ اللهِ وَمَا أصَابَكَ مِن سَيِّئَةٍ فَمِن نَفْسِكَ
“Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri.” (QS. An-Nisa’ ayat 79).
Allah
Ta’ala disucikan dari segala bentuk kezaliman, disifatkan dengan
keadilan. Dia tidak menzalimi seorang pun dengan kezaliman sekecil
apapun. Seluruh perbuatanNya adalah keadilan dan kasih sayang. Allah
Ta’ala berfirman,
وَمَا أنَا بظلاّمٍ للعَبِيْدِ
“Dan Aku sekali-kali tidak menganiaya hamba-hambaKu.” (QS. Qaf ayat 29).
وَلا يَظْلِمُ رَبّكَ أحَدًا
“Dan Rabb-mu tidak menganiaya seorang jua pun.” (QS. Al-Kahf ayat 49).
إنَّ اللهَ لاَ يَظلِمُ مِثقَالَ ذَرَّةٍ
“Sesungguhnya Allah tidak menganiaya seseorang walaupun sebesar zarrah.” (QS. An-Nisa’ ayat 40).
Dan Allah tidak ditanya atas apa yang Dia perbuat dan apa yang Dia kehendaki.
لاَ يُسْألُ عَمّا يَفْعَلُ وَهُوْ يُسْألُونَ
“Dia tidak ditanya tentang apa yang diperbuatNya, dan merekalah yang akan ditanyai.” (QS. Al-Anbiya’ ayat 23).
Allah
telah menciptakan manusia dan perbuatannya. Dia menjadikan untuknya
kehendak, kemampuan dan pilihan, sebagai anugerah dariNya agar seluruh
perbuatannya itu benar-benar berasal darinya secara hakiki dan bukan
majaz (kiasan). Dia juga memberikan manusia itu akal untuk memilah
antara yang baik dan buruk, dan tidak menghisabnya kecuali sesuai dengan
kadar amalan-amalannya yang terjadi dengan keinginan dan pilihannya
sendiri. Seorang manusia tidak dalam keadaan terpaksa. Dia memiliki
keinginan dan pilihan, dan dialah yang memilih perbuatannya dan
keyakinannya. Hanya saja, dalam kehendaknya itu dia mengikuti kehendak
Allah. Apa saja yang Allah kehendaki pasti terjadi dan apa yang tidak
dikehendakinya tidak bakal terjadi. Allah Ta’ala, Dia-lah pencipta
perbuatan para hamba, dan merekalah yang melakukan perbuatannya sendiri.
Perbuatan itu berasal dari Allah dalam bentuk ciptaan dan ketetapan
takdir, dan berasal dari hamba dalam bentuk pekerjaan dan usaha.
وَمَا تشاءُونَ إلاّ أنْ يَشاءَ الله رَبُّ العَالمِيْنَ
“Dan kamu tidak dapat menghendaki kecuali apabila dikehendaki Allah, Rabb semesta alam.” (QS. At-Takwir ayat 29).
Takdir
adalah rahasia Allah pada mahkluk ciptaanNya. Tidak ada yang
mengetahuinya, tidak malaikat yang didekatkan, dan tidak juga rasul yang
diutus. Berlebihan dalam mengkaji dan menyelidiki persoalan ini adalah
kesesatan, karena Allah telah melipat ilmu tentang takdir ini dari para
hamba, dan Dia melarang mereka untuk menyingkap hakikatnya. Alla
berfirman,
لاَ يُسْألُ عَمّا يَفْعَلُ وَهُوْ يُسْألُونَ
“Dia tidak ditanya tentang apa yang diperbuatNya, dan merekalah yang akan ditanyai.” (QS. Al-Anbiya’ ayat 23).
———————–
(Sumber : al Wajîz fî ‘Aqîdah as Salaf ash Shâlih, Ahl as Sunnah wa al Jamâ’ah)
08 Januari 2016
Iman Seorang Mukmin kepada Hari Akhir
Iman kepada hari Akhir adalah
keyakinan yang kokoh dan pembenaran yang sepenuhnya terhadap Hari Kiamat
serta mengimani seluruh apa yang dikabarkan Allah ‘azza wa jalla
dalam KitabNya dan dikabarkan rasulNya ﷺ tentang perkara-perkara yang
bakal terjadi setelah kematian hingga masuknya penduduk Surga ke dalam
Surga dan masuknya penghuni Neraka ke dalam Neraka.
Allah Ta’ala berfirman tentang sifat-sifat orang yang bertakwa,
وَالذِيْنَ يُؤْمِنُونَ بمَا أنْزلَ إلَيْكَ وَمَا أنزلَ مِنْ قَبْلِكَ وَبالآخِرَةِ هُمْ يُوْقِنُوْنَ
“Dan
mereka yang beriman kepada kitab (al-Quran) yang diturunkan kepadamu dan
kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan
adanya (kehidupan) Akhirat.” (QS. Al-Baqarah ayat 4).
Termasuk dalam iman kepada Hari Akhir adalah mengimani segala apa yang telah, sedang dan akan terjadi dari tanda-tanda Kiamat.
Tanda-tanda kecil Kiamat
Tanda-tanda kecil Kiamat adalah tanda-tanda yang mendahului Kiamat itu sebelum terjadinya untuk rentang
waktu yang agak panjang. Sebagiannya telah terjadi dan sebagiannya masih
terjadi dan akan terjadi sebagai pengantar datangnya tanda-tanda besar
terjadinya Hari Kiamat.
Tanda-tanda kecil ini sangatlah banyak, dan akan
kami sebutkan sebagiannya dari apa yang disebutkan dalam dalil yang
shahih. Diantaranya :
Diutusnya Nabi Muhammad ﷺ, kematian beliau, penaklukan Baitul Maqdis, munculnya fitnah peperangan dan munculnya para pendusta yang mendakwakan kenabian.
Diantaranya juga adalah pembuatan hadits-hadits palsu atas nama Rasulullah ﷺ
dan penolakan terhadap sunnahnya, tersebarnya kedustaan, diangkatnya
ilmu, tersebarnya kebodohan dan kerusakan, wafatnya orang-orang shalih,
dan terasingnya Islam dan umatnya.
Diantaranya
juga yang masih masih terus berlangsung pada masa kita sekarang dan
makin memburuk; banyaknya pembunuhan, tersebarnya zina, minuman keras
dan riba, sedikitnya jumlah laki-laki dan banyaknya jumlah wanita serta
keluarnya para wanita dalam keadaan berpakaian tapi telanjang.
Demikian juga termasuk dalam tanda-tanda kecilnya adalah banyaknya pengabaian terhadap amanah, berlomba-lomba dalam
meninggikan bangunan, berbangga-bangga dengan menghiasi masjid-masjid,
perubahan zaman hingga berhala kembali disembah dan muncullah kesyirikan
di umat ini.
Diantara
tanda-tandanya yang disebutkan dalam riwayat-riwayat yang shahih;
memberi salam hanya kepada orang yang dikenali, ramainya perdagangan,
banyaknya pasar dan harta yang berada di tangan manusia tanpa disertai
rasa syukur, semakin banyaknya sifat rakus dan kikir, banyaknya
persaksian palsu, menyembunyikan persaksian yang benar, permusuhan,
diputusnya silaturrahim dan sikap buruk dalam bertetangga. Demikian juga
semakin berdekatannya zaman, hilangnya keberkahan waktu, terjadinya
fitnah seperti penggalan malam yang gelap gulita, meremehkan sunnah yang
dianjurkan dalam Islam dan orang-orang tua yang suka berlagak seperti
anak-anak muda.
Tanda-tanda besar Kiamat
Yaitu
tanda-tanda yang menunjukkan semakin dekatnya Kiamat tersebut. Jika
tanda-tanda ini muncul, maka Kiamat akan segera terjadi. Diantaranya :
Datangnya al-Mahdi, yaitu Muhammad bin Abdillah, dari keluarga Nabi ﷺ.
Ia datang dari arah Timur dan berkuasa selama tujuh tahun dengan penuh
keadilan setelah sebelumnya bumi ini diliputi oleh kezaliman.
Keluarnya al-Masih ad-Dajjal dan turunnya Isa putra Maryam ‘alaihissalam di menara putih sebelah timur Damaskus. Ia turun sebagai hakim yang memutuskan perkara dengan Syariat Muhammad ﷺ, membunuh Dajjal dan menerapkan hukum di muka bumi dengan hukum Islam.
Diantara
tanda-tanda besar lainnya adalah keluarnya Ya’juj dan Ma’juj, pembenaman
di tiga tempat; di Timur, Barat dan di Jazirah Arab; keluarnya
asap/kabut, terbitnya matahari dari tempat terbenamnya, keluarnya hewan
melata (dâbbah al ardh) yang berbicara kepada manusia dan keluarnya api yang menggiring manusia ke mahsyar (tempat berkumpul).
Termasuk
iman kepada Hari Akhir adalah mengimani setiap perkara ghaib yang
terjadi setelah kematian, yang dikabarkan Allah dan rasulNya ﷺ
yang berkait dengan sakaratul maut, datangnya Malaikat Maut, hadirnya
syaitan saat kematian, tidak diterimanya iman seorang kafir saat
kematian, alam barzakh, pertanyaan dua malaikat, kenikmatan dan siksa
kubur, dan lain-lain.
Dan juga
perkara-perkara yang terjadi pada Hari Kiamat Kubra, dimana Allah
menghidupkan orang-orang mati, membangkitkan mereka dari kuburnya dan
kemudian menghisab mereka.
Mengimani
tentang tiga tiupan, kebangkitan dari kubur, dikumpulkannya manusia di
mahsyar dalam keadaan telanjang, tidak beralas kaki dan tidak berkhitan,
matahari di dekatkan kepada mereka dan diantara mereka ada yang
ditenggelamkan keringatnya sendiri.
Pada hari yang sangat agung itu, manusia keluar dari kuburnya seakan-akan mereka adalah belalang yang bertebaran, bersegera menuju kepada Rabb Yang Maha Perkasa. Manusia diliputi oleh rasa takut yang luar biasa, terdiam, dimana lembaran catatan akan dibuka, segala yang tersembunyi akan disingkap, dan Allah berbicara langsung kepada para hambaNya tanpa perantara. Manusia akan dipanggil dengan nama-nama mereka dan nama bapak-bapak mereka.
Demikian pula Ahlussunnah beriman tentang timbangan (mîzân) yang dengannya ditimbang amal-amal para hamba, dibukanya catatan-catatan amal, shirât (jembatan) yang dibentangkan diatas Jahannam, Surga dan Neraka yang kekal abadi, telaga Rasulullah ﷺ yang panjangnya sejauh perjalanan sebulan dan lebarnya sejauh perjalan sebulan. Orang yang minum darinya tidak akan haus untuk selamanya. Dan Rasulullah ﷺ akan memberikan syafaat para hamba, demikian juga para nabi, malaikat dan orang-orang shalih lainnya.
(Disadur dari al Wajîz fî ‘Aqîdah as Salaf ash Shâlih, Ahlu as Sunnah wa al Jamâ’ah)
02 Januari 2016
Adab Tidur dalam Islam
Diantara adab dan sunnah Nabi ﷺ dalam tidur adalah perkara-perkara berikut ini,
1.
Bersegera tidur malam dan tidak begadang kecuali untuk hajat yang
penting. Dari Abu Barzah bahwa Rasulullah ﷺ benci tidur sebelum Isya dan
bercakap-cakap setelahnya. (HR. Al-Bukhary).
2. Berwudhu sebelum tidur. Diriwayatkan oleh Al-Bukhary dan Muslim bahwa Nabi ﷺ bersabda,
إذا أتيت مضجعك فتوضأ وضوءك للصلاة ثم اضطجع على شقك الأيمن
“Jika
engkau mendatangimu tempat tidurmu, maka berwudhulah seperti wudhumu
untuk shalat, kemudian berbaringlah dengan sisi badan kananmu…”
3. Membersihkan tempat tidur dengan kain. Al-Bukhary meriwayatkan bahwa Nabi ﷺ bersabda,
إذا أوى أحدكم إلى فراشه فلينفض فراشه بداخلة إزاره فإنه لا يدري ما خلفه عليه
“Jika salah seorang kamu mendatangi ranjangnya, maka hendaknya ia mengibas ranjangnya dengan bagian dalam kainnya[1], karena ia tidak tahu apa yang ia tinggalkan padanya[2].”
4. Berbaring dengan sisi kanan badan.
5. Berzikir sebelum tidur;
- Diantaranya dengan mengumpulkan dua telapak tangannya, meniup pada keduanya dan membaca al-Mu’awwidzatain[3] dan Qul huwallâhu ahad
masing-masing tiga kali serta mengusapkan kedua tangan itu ke wajahnya
dan bagian tubuh yang mampu dijangkau. (HR. Al-Bukhary & Muslim).
- Membaca ayat Kursi. (HR. Al-Bukhary).
- Membaca doa,
باسمك اللهم أموت وأحيا
Bismika_llâhumma amûtu wa ahyâ.
“Dengan nama-Mu ya Allah, aku mati dan hidup.” (HR. Al-Bukhary & Muslim).
- Membaca doa,
اللهم
إني أسلمت وجهي إليك وفوضت أمري إليك والجأت ظهري إليك رغبة ورهبة إليك لا
ملجأ ولا منجا منك إلا إليك، اللهم آمنت بكتابك الذي أنزلت وبنبيك الذي
أرسلت
Allâhumma
aslamtu wajhî ilaik, wa fawwadhtu amrî ilaik, wa alja”tu dzhahrî ilaik,
raghbatan wa rahbatan ilaik, lâ malja-a wa lâ manjâ minka illâ ilaik.
Allâhumma âmantu bi kitâbika_lladzî anzalta, wa bi nabiyyika_lladzî
arsalta.
“Ya
Allah, sesungguhnya aku memasrahkan wajahku kepadaMu menyerahkan
urusanku kepadaMu, menyandarkan punggungku kepadaMu, karena berharap dan
takut kepadaMu, tidak ada tempat berlindung dan keselamatan dari (azab
dan murka)-Mu kecuali (kembali) kepadaMu. Ya Allah, aku beriman kepada
Kitab-Mu yang Engkau turunkan dan kepada nabi-Mu yang Engkau utus.” (HR. A-Bukhary & Muslim)
Dan zikir-zikir lainnya yang shahih[4] diriwayatkan dari Nabi ﷺ .
————————————
Footnotes :
[1]
Para ulama menyebutkan bahwa perintah beliau untuk menggunakan bagian
dalam kain sarung agar bagian luarnya tetap bersih. Karena pakaian di
masa itu sangat sedikit, dan umumnya seseorang hanya memiliki satu
pasang pakaian untuk menutupi tubuh bagian atas dan bagian bawahnya.
[2]
Yaitu dia tidak tahu hal-hal berbahaya apa yang mungkin ada di ranjang itu saat
dia pergi darinya seperti ular, kalajengking dan hewan-hewan kecil
lainnya.
[3] Al-mu’awwidzatain yaitu surat an-Nas dan al-Falaq.
[4]
Silahkan rujuk ke buku doa dan zikir yang sesuai sunnah seperti buku
saku yang ditulis oleh Syaikh Dr. Sa’id bin Ali bin Wahf al-Qahthani.