Iman kepada takdir (al-qadha' wa al-qadar) adalah meyakini dengan keyakinan yang kuat dan kokoh bahwa setiap kebaikan dan
keburukan terjadi dengan ketentuan dan ketetapan Allah Ta’ala, dan Allah
berbuat apa yang Dia kehendaki. Segala sesuatu dengan irâdah
(kehendak)Nya dan tidak ada yang keluar dari keinginan dan
pengaturanNya. Dia mengetahui setiap apa yang telah terjadi, dan segala
apa yang akan terjadi sebelum hal itu terjadi dalam ilmuNya yang azali
(ada tanpa permulaan). Dia menetapkan takdir segala sesuatu di alam ini
sesuai dengan dengan apa yang ada dalam pengetahuanNya dan konsekuensi
dari hikmahNya. Dia mengetahui keadaan para hamba, rezki-rezki mereka,
ajal-ajal mereka, perbuatan mereka dan lain-lain dari urusan-urusan
mereka. Allah Ta’ala berfirman,
وَكانَ أمْرُ اللهِ قَدَرًا مَقْدُورًا
“Dan adalah ketetapan Allah itu suatu ketetapan yang pasti berlaku.” (QS. Al-Ahzab ayat 38).
Dia juga berfirman,
إنّا كُلَّ شَيْئٍ خَلَقْنَاهُ بِقَدَرٍ
“Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut kadarnya.” (QS. Al-Qamar ayat 49).
Dan Nabi ﷺ bersabda,
لا يؤمن عبدٌ حتى يؤمن بالقدر خيره وشرّه من الله وحتى يعلم أن ما أصابه لم يكن ليخطئه وأنّ ما أخطأه لم يكن ليصيبه
“Tidaklah
seorang hamba beriman hingga dia beriman kepada takdir, baik dan
buruknya berasal dari Allah. Dan hingga dia mengetahui bahwa apa yang
akan menimpanya tidak akan pernah meleset darinya, dan apa yang
dihindarkan darinya tidak akan bakal menimpanya.” (HR. At-Tirmidzi dan dishahihkan Al-Albani).
Iman
kepada takdir tidak akan sempurna tanpa empat perkara yang disebut
tingkatan takdir atau rukun-rukunnya. Perkara-perkara ini adalah
pengantar untuk memahami persoalan takdir. Tidak akan sempurna iman
terhadap takdir kecuali dengan mewujudkan seluruh rukun-rukunnya
tersebut, karena sebagiannya akan berkait dengan sebagian lainnya.
Pertama : Ilmu (al-‘ilm)
Yaitu
mengimani bahwa Allah Maha Mengetahui segala apa yang telah terjadi, apa
yang akan terjadi, apa yang belum terjadi dan bagaimana kalau hal itu
terjadi, secara global maupun terperinci. Dia Maha Mengetahui apa yang
bakal dilakukan para hamba sebelum penciptaan mereka, mengetahui rezki,
ajal dan perbuatan mereka, mengetahui gerak dan diamnya mereka,
mengetahui yang celaka dan bahagia diantara mereka, dan yang demikian
itu dengan ilmuNya yang qadîm, yang Dia disifatkan dengannya semenjak azali. Allah Ta’ala berfirman,
إنَّ اللهَ بِكُلِّ شَيْئٍ عَلِيْمٌ
“Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. At-Taubah ayat 115).
Kedua : Penulisan (al-kitâbah)
Yaitu mengimani bahwa Allah telah menuliskan segala apa yang ada dalam ilmuNya dari ketetapan takdir para hamba di al-Lauh al-Mahfuzh,
sebuah kitab yang tidak ada kelalaian sedikit pun padanya. Segala apa
yang terjadi dan bakal terjadi di alam ini hingga Hari Kiamat, telah
tertulis di sisi Allah Ta’ala dalam Ummul Kitâb, dan dinamakan juga
adz-Dzikr, al-Imâm dan al-Kitâb al-Mubîn. Allah Ta’ala berfirman,
وَكُلّ شَيْئٍ أحْصَيْنَاهُ فى إمَامٍ مُبِيْنٍ
“Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata.” (QS. Yasin ayat 12)
Dan Nabi ﷺ bersabda,
إن أول ما خلق الله القلم فقال : اكتب، فقال : ما أكتب؟ قال : اكتب القدر ما كان وما هو كائنُ إلى الأبد
“Sesungguhnya
yang pertama Allah ciptakan adalah al-Qalam (pena). Dia berfirman :
Tulislah! Al-Qalam berkata : Apa yang aku tulis? Allah berfirman :
Tulislah takdir, apa yang terjadi dan apa yang bakal terjadi untuk
seterusnya.” (HR. At-Tirmidzi, dishahihkan Al-Albani).
Ketiga : Kehendak (al-irâdah wa al-masyî’ah)
Bahwa
setiap apa yang terjadi di alam ini, maka itu terjadi dengan kehendak
Allah dan keinginanNya yang beredar antara kasih sayang dan hikmahNya.
Dia memberikan petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki dengan kasih
sayangNya, dan menyesatkan siapa yang Dia kehendaki dengan hikmahNya,
dan Dia tidak ditanya atas apa yang diperbuatNya karena kesempurnaan
hikmah dan kekuasaanNya tersebut. Semua itu terjadi selaras dengan
pengetahuanNya yang qadim, yang tercatat dalam al-Lauh
al-Mahfuzh. KehendakNya pasti terwujud. Tidak ada sesuatu pun yang lepas
dari kehendakNya. Allah Ta’ala berfirman,
وَمَا تشاءُونَ إلاّ أنْ يَشاءَ الله رَبُّ العَالمِيْنَ
“Dan kamu tidak dapat menghendaki kecuali apabila dikehendaki Allah, Rabb semesta alam.” (QS. At-Takwir ayat 29).
Nabi ﷺ bersabda,
إن قلوب بني آدم كلها بين إصبعين من أصابع الرحمن كقلب واحد يصرّفه حيث يشاء
“Sesungguhnya
hati-hati anak-anak Adam seluruhnya berada diantara dua jari dari
jari-jari Ar-Rahman, seperti sebuah hati yang satu. Dia mengaturnya
bagaimana saja Dia kehendaki.” (HR. Muslim).
Keempat : Penciptaan (al-khalq)
Yaitu
mengimani bahwa Allah adalah pencipta segala sesuatu. Tidak ada khâliq
(pencipta) selain Dia, dan tidak ada Rabb selain Dia. Segala sesuatu
yang selain Dia adalah makhluk (yang diciptakan). Dia-lah pencipta
setiap yang berbuat dan perbuatannya, setiap yang bergerak dan
gerakannya. Allah Ta’ala berfirman,
وَخَلَقَ كلَّ شَيْئٍ فَقَدّرَهُ تقْدِيْرًا
“Dan Dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya.” (QS. Al-Furqan ayat 2)
Segala apa
yang terjadi dari kebaikan dan keburukan, kekafiran dan keimanan,
ketaatan dan maksiat, semuanya telah dikehendakiNya, ditetapkanNya dan
diciptakanNya. Allah Ta’ala berfirman,
وَمَا كانَ لِنَفْسٍ أنْ تؤْمِنَ إلا بإذْنِ اللهِ
“Dan tidak ada seorang pun akan beriman kecuali dengan izin Allah.” (QS. Yunus ‘alaihissalam ayat 100).
قُل لَن يُصِيْبَنَا إلا مَا كَتَبَ اللهُ لَنَا
“Katakanlah : Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan oleh Allah bagi kami.” (QS. At-Taubah ayat 51).
Allah
menyukai ketaatan dan membenci maksiat. Dia memberi petunjuk kepada
siapa yang Dia kehendaki dengan keutamaan yang datang dariNya, dan Dia
menyesatkan siapa yang Dia kehendaki dengan keadilanNya.
إنْ
تكفُرٌوا فَإنّ الله غنيٌّ عَنْكمْ وَلا يَرْضىَ لِعِبَادِهِ الكُفْرَ
وَإنْ تَشْكرُوا يَرْضَهُ لَكمْ وَلا تزرُ وَازرَةٌ وزْرَ أخْرىَ
“Jika
kamu kafir maka sesungguhnya Allah tidak memerlukan (iman)mu dan Dia
tidak meridhai kekafiran bagi hambaNya; dan jika kamu bersyukur, niscaya
Dia meridhai bagimu kesyukuranmu itu; dan seorang yang berdosa tidak
akan memikul dosa orang lain.” (QS. Az-Zumar ayat 7).
Tidak ada
argumen dan uzur bagi orang yang telah Dia sesatkan, karena Allah telah
mengutus para rasul untuk menyampaikan hujjahNya. Dan Dia telah
menyandarkan pekerjaan seorang hamba kepada dirinya sendiri dan
menjadikannya sebagai usahanya sendiri, Dia tidak membebankan kecuali
apa yang dalam kemampuan hamba tersebut.
اليَوْمَ تُجْزَى كلُّ نَفْسٍ بِمَا كَسَبَتْ لا ظُلْمَ اليَوْمَ
“Pada hari ini tiap-tiap jiwa diberi balasan dengan apa yang diusahakannya. Tidak ada yang dirugikan pada hari ini.” (QS. Ghafir ayat 17).
لا يُكلفُ اللهُ نَفْسًا إلاّ وُسْعَهَا
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS. Al-Baqarah ayat 286)
Akan
tetapi, keburukan tidak dinisbatkan/disandarkan kepada Allah karena
kesempurnaan kasih sayangNya. Karena Dia telah menyuruh kepada kebaikan
dan melarang dari keburukan. Keburukan itu hanyalah ada pada
konsekuensinya dan juga terjadi dengan hikmah dan kebijaksanaanNya.
مَا أصَابَكَ مِن حَسَنَةٍ فَمِنَ اللهِ وَمَا أصَابَكَ مِن سَيِّئَةٍ فَمِن نَفْسِكَ
“Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri.” (QS. An-Nisa’ ayat 79).
Allah
Ta’ala disucikan dari segala bentuk kezaliman, disifatkan dengan
keadilan. Dia tidak menzalimi seorang pun dengan kezaliman sekecil
apapun. Seluruh perbuatanNya adalah keadilan dan kasih sayang. Allah
Ta’ala berfirman,
وَمَا أنَا بظلاّمٍ للعَبِيْدِ
“Dan Aku sekali-kali tidak menganiaya hamba-hambaKu.” (QS. Qaf ayat 29).
وَلا يَظْلِمُ رَبّكَ أحَدًا
“Dan Rabb-mu tidak menganiaya seorang jua pun.” (QS. Al-Kahf ayat 49).
إنَّ اللهَ لاَ يَظلِمُ مِثقَالَ ذَرَّةٍ
“Sesungguhnya Allah tidak menganiaya seseorang walaupun sebesar zarrah.” (QS. An-Nisa’ ayat 40).
Dan Allah tidak ditanya atas apa yang Dia perbuat dan apa yang Dia kehendaki.
لاَ يُسْألُ عَمّا يَفْعَلُ وَهُوْ يُسْألُونَ
“Dia tidak ditanya tentang apa yang diperbuatNya, dan merekalah yang akan ditanyai.” (QS. Al-Anbiya’ ayat 23).
Allah
telah menciptakan manusia dan perbuatannya. Dia menjadikan untuknya
kehendak, kemampuan dan pilihan, sebagai anugerah dariNya agar seluruh
perbuatannya itu benar-benar berasal darinya secara hakiki dan bukan
majaz (kiasan). Dia juga memberikan manusia itu akal untuk memilah
antara yang baik dan buruk, dan tidak menghisabnya kecuali sesuai dengan
kadar amalan-amalannya yang terjadi dengan keinginan dan pilihannya
sendiri. Seorang manusia tidak dalam keadaan terpaksa. Dia memiliki
keinginan dan pilihan, dan dialah yang memilih perbuatannya dan
keyakinannya. Hanya saja, dalam kehendaknya itu dia mengikuti kehendak
Allah. Apa saja yang Allah kehendaki pasti terjadi dan apa yang tidak
dikehendakinya tidak bakal terjadi. Allah Ta’ala, Dia-lah pencipta
perbuatan para hamba, dan merekalah yang melakukan perbuatannya sendiri.
Perbuatan itu berasal dari Allah dalam bentuk ciptaan dan ketetapan
takdir, dan berasal dari hamba dalam bentuk pekerjaan dan usaha.
وَمَا تشاءُونَ إلاّ أنْ يَشاءَ الله رَبُّ العَالمِيْنَ
“Dan kamu tidak dapat menghendaki kecuali apabila dikehendaki Allah, Rabb semesta alam.” (QS. At-Takwir ayat 29).
Takdir
adalah rahasia Allah pada mahkluk ciptaanNya. Tidak ada yang
mengetahuinya, tidak malaikat yang didekatkan, dan tidak juga rasul yang
diutus. Berlebihan dalam mengkaji dan menyelidiki persoalan ini adalah
kesesatan, karena Allah telah melipat ilmu tentang takdir ini dari para
hamba, dan Dia melarang mereka untuk menyingkap hakikatnya. Alla
berfirman,
لاَ يُسْألُ عَمّا يَفْعَلُ وَهُوْ يُسْألُونَ
“Dia tidak ditanya tentang apa yang diperbuatNya, dan merekalah yang akan ditanyai.” (QS. Al-Anbiya’ ayat 23).
———————–
(Sumber : al Wajîz fî ‘Aqîdah as Salaf ash Shâlih, Ahl as Sunnah wa al Jamâ’ah)
1 tanggapan:
Like (y) ... Syukron Katsir ustadz...sangat terjawab pertanyaan saya...
Posting Komentar