Sponsors

16 Januari 2016

Suka Ketenaran dan Pujian

Mencari ketenaran dan popularitas tercela dalam semua keadaannya. Seorang mukmin adalah orang yang rendah hati, tidak menyukai ketenaran. Termasuk perkara yang sangat merusak pribadi seseorang dalam usahanya untuk menuju kepada Rabb-nya adalah cintanya terhadap popularitas, ingin dimuliakan manusia dan suka jika pribadinya memiliki ketokohan di kalangan mereka.

At-Tirmidzi meriwayatkan dalam kitab Al-Jâmi’ dari Ka’ab bin Malik radhiyallahu ‘anhu ia berkata : Rasulullah ﷺ bersabda,

مَا ذِئْبَانِ جَائِعَانِ أُرْسِلَا فِي غَنَمٍ بِأَفْسَدَ لَهَا مِنْ حِرْصِ الْمَرْءِ عَلَى الْمَالِ وَالشَّرَفِ لِدِينِهِ

Tidaklah dua serigala lapar yang dilepaskan dalam kumpulan kambing lebih berbahaya untuk kambing-kambing itu daripada ketamakan seseorang terhadap harta dan kedudukan dalam agamanya.” (Dishahihkan Al-Albani dalam Shahîh Al-Jâmi’ no. 5620).

Dan diantara peyakit besar dalam cinta ketenaran dan kemuliaan tersebut adalah mencari-cari pujian manusia untuk dirinya, entah itu dalam persoalan kebenaran atau kebatilan.

Imam Ahmad meriwayatkan dari Mu’awiyah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata : Saya mendengar Rasulullah ﷺ bersabda,

إِيَّاكُمْ وَالتَّمَادُحَ فَإِنَّهُ الذَّبْحُ

Jauhilah oleh kalian saling memuji, karena pujian itu adalah sembelihan.” (Dihasankan Al-Albani dalam As-Silsilah Ash-Shahîhah no. 1196 dan 1284).

Cinta ketenaran dan popularitas adalah penyakit yang sangat halus dan tersembunyi dalam jiwa. Penyakit yang akan menghancurkan hati yang sering tidak disadari oleh seorang hamba kecuali setelah ia melangkah jauh di dalamnya hingga akhirnya sulit baginya memperbaiki apa yang telah dirusak oleh penyakit tersebut.

Berkata Bisyr bin al-Harits rahimahullahu, “Tidak akan mendapatkan manisnya akhirat seseorang yang suka dikenali oleh manusia.” (At-Tawâdhu’ wa Al-Khumûl, Ibn Abi ad-Dunia, hal. 72).

Berkata Ayyub as-Sakhtiyani rahimahullahu, “Tidak mungkin seorang hamba benar-benar jujur, dan dia masih suka ketenaran.” (Siyar A’lâm An-Nubalâ’, adz-Dzahabi, VI/20).

Berkata Imam adz-Dzahabi rahimahullahu, “Selayaknya seorang berilmu berbicara dengan niat dan tujuan yang benar. Jika ucapannya membuatnya kagum, hendaknya dia diam. Jika diam membuat kagum, hendaknya dia berbicara. Dan jangan pernah berhenti untuk introspeksi diri, karena diri itu menyukai popularitas dan pujian.” (Siyar A’lâm An-Nubalâ’, IV/494).

Imam Muslim meriwayatkan dalam kitab Ash-Shahîh, dari ‘Âmir bin Sa’ad, ia berkata : Dahulu Sa’ad bin Abi Waqqash menggembala unta-untanya. Ia didatangi oleh putranya, Umar. Ketika Sa’ad melihatnya, ia berkata, “Aku berlindung kepada Allah dari keburukan penunggang ini.” Umar turun dari tunggangannya dan berkata, “Engkau diam bersama unta dan kambingmu, dan engkau biarkan manusia memperebutkan kekuasaan di antara mereka?” Sa’ad memukulnya di dadanya dan berkata, “Diamlah! Aku telah mendengar Rasulullah ﷺ bersabda,

إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْعَبْدَ التَّقِيَّ الْغَنِيَّ الْخَفِيَّ

Sesungguhnya Allah menyukai seorang hamba yang bertakwa, kaya dan tersembunyi.”

Syaikh Muhammad Al-Utsaimin rahimahullahu berkata “Al-Khafiy adalah orang yang tidak menampakkan dirinya. Tidak mempedulikan untuk menampilkan dirinya di hadapan manusia, ditunjuk dengan jari atau diperbincangkan manusia. Engkau akan dapatkan dia dari rumahnya ke masjid, dari masjidnya ke rumah, dari rumahnya ke kerabat atau saudaranya, dia menyembunyikan dirinya.” (Syarh Riyâdh Ash-Shâlihîn, hal. 629).

Al-Fudhail bin 'Iyadh bernasehat untuk diri-diri kita, “Jika engkau mampu untuk tidak dikenali, lakukanlah. Apa bebanmu jika engkau tidak dikenal? Apa bebanmu jika engkau tidak dipuji? Apa bebanmu hina dalam pandangan manusia jika engkau terpuji di sisi Allah ‘azza wa jalla?” (At-Tawâdhu’ wa Al-Khumûl oleh Abu Bakr Al-Qurasyi, hal. 43).

Semoga Allah menjaga kita dari keburukan syaitan dan keburukan diri-diri kita sendiri.

0 tanggapan:

Posting Komentar