I’tikaf adalah berdiam pada suatu tempat. Bagi
orang yang beri’tikaf di masjid disebut dengan mu’takif atau ‘âkif.
I’tikaf disunnahkan di bulan Ramadhan. Dari Abu
Hurairah radhiyallahu ‘anhu ia
berkata : “Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam beri’tikaf selama 10 hari pada setiap Ramadhan. Di tahun wafatnya,
beliau beri’tikaf selama 20 hari”. [Terjemah HR. al Bukhary]
Yang paling afdhalnya dilakukan di akhir
Ramadhan. Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha
bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
beri’tikaf sepuluh hari terakhir dari Ramadhan hingga Allah mewafatkannya.
[Terjemah HR. al Bukhary dan Muslim]
Disebutkan juga bahwa beliau pernah beri’tikaf
pada sepuluh terakhir di bulan Syawwal, mengqadha’ i’tikaf yang tidak beliau
laksanakan di bulan Ramadhan. [Terjemah HR. al Bukhary dan Muslim]
Jika seseorang bernazar untuk beri’tikaf sehari
atau lebih maka wajib baginya memenuhi nazarnya tersebut. Dari Umar ibnul
Khattab bahwa ia berkata kepada Nabi shallallahu’alaihi
wasallam : “Wahai Rasulullah, aku telah bernazar di masa Jahiliyah untuk
beri’tikaf semalam di al Masjid al Haram”.
Beliau bersabda : “Penuhi nazarmu tersebut!”. [Terjemah HR. al Bukhary dan Muslim]
Tidak Disyari’atkan
I’tikaf kecuali di Masjid
Dengan dalil firman Allah Ta’ala :
و لا تباشروهن و أنتم
عاكفون فى المساجد
“Dan
janganlah kamu campuri mereka (istri-istri) ketika kamu beri’tikaf dalam masjid”.
[QS. 2 : 187]
Jumhur ulama berpendapat bahwa i’tikaf
disyariatkan di setiap masjid dengan keumuman dalil ayat diatas walaupun
terdapat perselisihan diantara mereka tentang status masjid tersebut masjid
jami’ atau bukan.
Dibolehkan bagi
Wanita beri’tikaf di Masjid
Dalam hadits Aisyah : bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam beri’tikaf
pada sepuluh terakhir Ramadhan hingga Allah mewafatkannya, kemudian
istri-istrinya tetap beri’tikaf setelahnya”. (Terjemah HR. al Bukhary dan
Muslim].
Tetapi disyaratkan bagi i’tikafnya wanita
tersebut dua hal : izin suaminya dan tidak ada fitnah pada i’tikafnya itu, baik
fitnah untuk dirinya atau untuk laki-laki.
Kapan Bermula dan
Berakhirnya I’tikaf?
Barangsiapa yang berkeinginan untuk beri’tikaf
sepuluh terakhir di bulan Ramadhan, maka yang sunnah adalah dia memasuki tempat
i’tikafnya setelah shalat Fajar hari ke 21 sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam. Ini adalah pendapatnya Imam al Auza’i, al
Laits dan ats Tsaury.
Sementara para Imam yang empat berpendapat bahwa
orang yang beri’tikaf mulai memasuki tempat i’tikafnya menjelang terbenamnya
matahari hari ke 20. Mereka menafsirkan perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam dalam hadits bahwa beliau memasuki masjid di awal malam dan mulai
bersendirian dalam kemahnya di masjid setelah shalat Fajar. Mereka juga
mengatakan bahwa permulaan hari ke 21 itu dimulai saat terbenamnya matahari di
hari ke 20.
Dengan dasar perselisihan itulah berbeda pula
pendapat mereka tentang berakhirnya i’tikaf tersebut. Menurut pendapat pertama,
orang yang beri’tikaf keluar dari tempat i’tikafnya setelah shalat Fajar di
hari Ied, sementara pendapat kedua mengatakan ia keluar setelah terbenamnya
matahari di hari terakhir Ramadhan.
Apakah yang
Membatalkan I’tikaf?
I’tikaf menjadi batal dan rusak dengan salah
satu dari dua hal berikut ini :
a. Keluar masjid tanpa uzur syar’i dan tanpa keperluan
yang sangat mendesak. Karenanya, tidak boleh keluar dari masjid
kecuali untuk perkara yang tidak mungkin ditinggalkan seperti
keluar untuk mendapatkan makan dan minum jika tidak didapatkan dalam masjid,
atau keluar untuk buang hajat, mandi junub atau berwudhu’ jika tidak
memungkinkan di masjid.
b. Bersetubuh. Para ulama bersepakat bahwa siapa
yang menggauli istrinya di kemaluannya dan dia dalam keadaan beri’tikaf,
dilakukan dengan sengaja dan dalam keadaan ingat dan sadar bahwa dia sedang
beri’tikaf, maka saat itu i’tikafnya batal. Allah Ta’ala berfirman :
و لا تباشروهن و أنتم
عاكفون فى المساجد
“Dan janganlah kamu campuri mereka
(istri-istri) ketika kamu beri’tikaf dalam masjid”. [QS. 2 : 187]
* Jika disyaratkan dalam niat i’tikafnya untuk
keluar masjid dalam urusan tertentu, seperti misalkan dia mensyaratkan untuk
keluar mengikuti jenazah atau untuk pekerjaannya di siang hari, maka sebagian
besar fuqaha’ mengatakan bahwa syaratnya itu tidak bermanfaat baginya dan jika
dia melakukannya maka i’tikafnya batal.
Apa saja yang Boleh
dilakukan saat I’tikaf?
- Keluar masjid untuk sebuah hajat yang sangat perlu, seperti mencari makan jika tidak ada di masjid
- Menyibukkan diri dengan perkara-perkara yang mubah, seperti bercengkerama dengan orang lain, mengantarkan tamunya sampai ke pintu masjid
- Istri mendatangi suaminya di tempat i’tikaf dan keduanya berduaan di tempat tersebut
- Membuatkan semacam tenda di bagian belakang masjid
- Menggunakan kasur tidurnya di masjid
- Meminang atau melakukan akad nikah bagi orang yang beri’tikaf
- Boleh bagi wanita yang mustahadhah untuk beri’tikaf dengan syarat menjaga agar jangan sampai darahnya mengotori masjid
Diantara Adab-Adab
I’tikaf
Sangat dianjurkan bagi orang yang beri’tikaf
untuk menyibukkan dirinya dengan ketaatan kepada Allah Ta’ala seperti shalat,
membaca al Quran, berzikir, beristighfar, berdoa, membaca tafsir, mempelajari
hadits dan lain sebagainya.
Dan sangat dimakruhkan bagi seorang yang
beri’tikaf menyibukkan dirinya dengan pembicaraan atau perbuatan yang tidak bermanfaat,
menjadikan majlis i’tikafnya itu sebagai tempat berkunjung, bercanda dan
memperbanyak pembicaraan dengan teman-teman duduknya. Hal seperti ini sangat
jauh dari petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
______________________
Sumber :
Shahîh Fiqh as Sunnah wa Adillatuhu wa Taudhîh
Madzâhib al A-immah, II/150-158
0 tanggapan:
Posting Komentar