Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullahu ditanya :
Seseorang yang memiliki tuntutan kewajiban terhadap keluarganya, apakah utama baginya untuk beri’tikaf?
******
Beliau menjawab :
I’tikaf adalah sunnah dan bukan kewajiban.
Walaupun demikian, jika seseorang memiliki tuntutan-tuntutan pekerjaan
terhadap keluarganya; jika hal tersebut wajib atasnya, maka dia wajib
melaksanakannya, dan dia berdosa dengan i’tikafnya yang menghalangi dia
dari kewajiban tersebut. Jika tuntutan urusan keluarga itu bukanlah
perkara yang wajib atasnya, maka mungkin saja itu lebih utama daripada
i’tikaf. Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash radhiyallahu ‘anhuma pernah
berkata : "Demi Allah, aku akan berpuasa pada siang hari dan shalat
malam selama hidupku!"
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memanggilnya dan berkata : "Engkau mengatakan hal itu?"
Ia berkata : "Iya".
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
صُمْ وأفطرْ، ونمْ وقمْ، فإن لنفسك عليك حقًا ولربك عليك حقًا ولأهلك عليك حقًا
"Berpuasa dan berbukalah, tidur dan dirikanlah
shalat! Karena sesungguhnya, dirimu memiliki hak atasmu, Rabb-mu
memiliki hak atasmu dan keluargamu memiliki hak atasmu". [HR.
al-Bukhary dan Muslim]
Perbuatan seorang manusia meninggalkan
kewajiban-kewajibannya untuk beri’tikaf adalah kekurangan dia dalam
ilmu, dan juga kekurangan dirinya dalam hikmah. Karena pekerjaan seorang
manusia untuk menutupi hajat keluarganya lebih utama daripada
i’tikafnya. Adapun orang yang tidak memiliki pekerjaan itu, maka i’tikaf
untuk dirinya disyari’atkan. Jika dia memiliki kewajiban keluarga itu
dipermulaan sepuluh pertama, dan dia selesai darinya pada pertengahan
Ramadhan dan ingin beri’tikaf diakhirnya, maka ini tidak mengapa karena
masuk dalam makna firman Allah :
فَاتقوْا اللهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ
"Dan bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu". [QS. 64 : 16]
_______________
Sumber :
Fatâwâ fî Ahkâm ash Shiyâm, hal. 510
0 tanggapan:
Posting Komentar