24 Juli 2012
Wasiat Kebaikan terhadap Para Wanita
Dalam hadits, “Berwasiatlah kebaikan terhadap para wanita, karena sesungguhnya wanita diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok, dan sungguh yang paling bengkok dari tulang rusuk itu adalah bagian atasnya…”, dan seterusnya. Mohon penjelasan makna hadits tersebut beserta penjelasan tentang, “Yang paling bengkok dari tulang rusuk adalah yang paling atasnya”.
******
Hadits tersebut adalah hadits shahih diriwayatkan oleh asy-Syaikhain dalam kitab ash-Shahihain dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu; bersabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam :
استوصوا بالنساء خيرًا فإنهن خلقن من ضلع وإن أعوج شيئ فى الضلع أعلاه، فاستوصوا بالنساء خيرًا
“Berwasiatlah kebaikan terhadap para wanita, karena sesungguhnya mereka diciptakan dari tulang rusuk, dan sesungguhnya yang paling bengkok dari tulang rusuk itu adalah bagian atasnya. Maka berwasiatlah kebaikan terhadap para wanita”.
Hadits ini adalah perintah terhadap para suami, ayah, saudara dan lain-lain, untuk berwasiat kebaikan terhadap para wanita, berbuat baik kepada mereka, tidak menzalimi, memberikan kepada mereka hak-haknya dan mengarahkan mereka kepada kebaikan. Itulah perkara yang wajib terhadap semua (laki-laki) dengan konsekuensi sabda beliau ‘alaihish shalâtu wassalâm, “Berwasiatlah kebaikan terhadap para wanita”. Hal ini tidaklah menghalangi keadaan mereka yang mungkin saja pada sebagian waktu akan bersikap buruk terhadap suami atau kerabat dengan lisan atau perbuatannya, karena mereka diciptakan dari tulang rusuk sebagaimana yang disabdakan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Dan yang paling bengkok dari tulang rusuk adalah bagian atasnya. Telah dimaklumi bahwa bagian atasnya adalah yang paling dekat dengan tempat tumbuhnya tulang rusuk tersebut, dan pada tulang rusuk ada kebengkokan. Ini adalah perkara yang sudah diketahui.
Maknanya, mesti ada dalam akhlaknya sesuatu dari kebengkokan dan kekurangan. Karena itu, disebutkan dalam hadits yang lain dalam As-Shahihain :
ما رأيت من ناقصات عقل ودين أذهب للبّ الرجل الحازم من إحداكن
“Aku tidak melihat yang lebih kurang akal dan agamanya, yang menghilangkan hati seorang laki-laki yang kuat, melebihi salah seorang dari kalian”.
Maksudnya, itulah hukum Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dan hadits ini shahih dalam kitab As-Shahihain dari Abu Sa’id al Khudri radhiyallahu ‘anhu. Makna “kurangnya akal” adalah sebagaimana yang disabdakan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa persaksian dua orang wanita sama dengan persaksian satu orang laki-laki. Adapun “kurangnya agama” adalah sebagaimana yang disabdakan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa seorang wanita berdiam beberapa hari dan malam tidak shalat, yaitu karena haid, dan demikian pula nifas; ini adalah kekurangan yang telah Allah tetapkan untuknya yang tidak ada dosa atasnya dalam perkara tersebut.
Selayaknya bagi wanita untuk mengakui perkara ini sesuai dengan yang ditunjukkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam walaupun wanita tersebut memiliki ilmu dan ketakwaan. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak berucap menurut hawa nafsunya. Hal itu datang darinya dengan perantaraan wahyu yang Allah wahyukan kepadanya dan disampaikannya kepada umat. Sebagaimana Allah ‘azza wa jalla berfirman :
والنجم إذا هوى، ما صل صاحبكم وما غوى، وما ينطق عن الهوى، إن هو إلا وحي يوحى
“Demi bintang ketika terbenam, kawanmu (Muhammad) tidak sesat dan tidak pula keliru, dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)”. [QS. An Najm ayat 1-4]
(Majmû’ Fatâwâ wa Maqâlat Mutanawwi’ah asy Syaikh Abdil Azîz ibn Bâz rahimahullâhu, jilid V)
-------------------------
Sumber : http://islamqa.info/ar/ref/2665
23 Juli 2012
Pegawai Tidur Saat Jam Kerja, Apakah Hal itu Merusak Puasanya?
Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin rahimahullahu ditanya :
Seorang pegawai tidur lebih sekali di perusahaan (tempat bekerja)nya saat jam kerja dan meninggalkan pekerjaannya; apakah yang seperti ini merusak puasanya?
******
Beliau menjawab :
Puasanya tidak rusak, karena tidak ada kaitannya antara meninggalkan pekerjaan dengan puasa. Akan tetapi wajib bagi seorang manusia yang mengemban sebuah amanah pekerjaan untuk mengerjakan amanah yang diberikan kepadanya itu, karena dia mengambil upah dan gaji untuk pekerjaannya tersebut. Dan pekerjaannya itu wajib dikerjakan sesuai dengan aturan yang bisa melepaskan tanggung jawabnya, sebagaimana dia menuntut gaji yang sempurna (tanpa dipotong).
Hanya saja, puasanya akan berkurang pahalanya karena perbuatan haramnya, yaitu tidurnya dia dari pekerjaan yang telah ditetapkan.
(Fatâwâ fî Ahkâm ash Shiyâm, hal. 171, pertanyaan no. 123)
Tidak Pernah Berpuasa sejak Lama, Apakah Wajib Mengqadha'?
Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin rahimahullahu ditanya :
Seorang laki-laki telah berumur 45 tahun dan tidak pernah berpuasa Ramadhan semenjak lama karena malas dan meremehkan., dan ia juga belum pernah mengqadha’nya. Hanya saja, Allah Ta’ala telah menganugerahkan taubat kepadanya dan ia pun mulai berpuasa setelah berlalu 10 hari Ramadhan saat ini. Bagaimana hukumnya hari-hari dan bulan-bulan yang telah berlalu, yang jumlahnya tentu saja lebih dari 10 hari?
******
Beliau menjawab :
Yang wajib bagi laki-laki ini yang telah melalaikan bertahun-tahun dari bulan Ramadhan dan belum pernah berpuasa adalah memuji Allah ‘azza wa jalla atas hidayahnya dan taubatnya tersebut, serta bermohon kepada Allah agar dianugerahkan keteguhan.
Adapun berkenaan dengan bulan-bulan yang telah berlalu, maka itu tidak akan bermanfaat baginya untuk mengqadha’nya pada hari ini. Yang demikian itu karena seorang manusia jika mengakhirkan ibadah dari waktunya yang telah ditentukan syariat tanpa uzur syar’i, maka ibadah itu tidak akan diterima darinya, dengan dalil sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam :
من عمل عملا ليس عليه أمرنا فهو ردّ
“Siapa yang beramal dengan satu amalan yang tidak ada perintah kami padanya, maka dia tertolak”. [HR. al Bukhary dan Muslim]
Dan telah dimaklumi, bahwa mengakhirkan ibadah-ibadah tertentu hingga keluar waktunya tanpa sebuah uzur yang syar’i adalah sebuah amalan yang tidak ada perintahnya dari Allah dan rasul-Nya sehingga amalan itu tertolak. Jika amalan itu tertolak, mewajibkan perkara itu kepadanya tentu saja hanyalah sebuah kesia-siaan yang tidak ada manfaatnya. Dengan landasan ini, kami katakan kepada orang tersebut dan yang semisalnya, orang-orang yang sengaja mengeluarkan ibadah-ibadah tertentu dari waktunya; kami katakan : tidak ada kewajiban atasmu kecuali bertaubat kepada Allah ‘azza wa jalla, memperbaiki amalmu dan memperbaharui kehidupanmu. Kami memohon kepada Allah keteguhan diatas apa yang telah Allah tunjukkan engkau kepadanya dari agama Islam ini.
Memohon Pembenahan Ilahi dalam Segala Urusan
Berkata Syaikh al ‘Allâmah Nâshir bin Abdurrahmân as Sa’dî rahimahullahu :
Hal yang paling bermanfaat dalam meniti peristiwa di masa yang akan datang adalah mengamalkan doa yang diamalkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam;
اللهُمَّ أصْلِحْ لِيْ دِينِيْ الذِي هُوَ عِصْمَةُ أمْرِيْ، وَ أصْلِحْ لِيْ دُنْيَايَ التِيْ فِيْهَا مَعَاشِيْ، وَأصْلِحْ لِيْ آخِرَتِي التِيْ إلَيْهَا مَعَادِيْ، وَاجْعَلِ الحَيَاةَ زِيَادَةً لي فِى كُلِّ خَيْرٍ، وَاجْعَلِ المَوْتَ رَاحَةً لي مِنْ كلِّ شَرّ
Allâhumma ashlih lî dîni_lladzî huwa ‘ishmatu amrî, wa ashlih li dun-yâya_llatî fîhâ ma’âsyî, wa ashlih lî âkhirati_llatî ilaihâ ma’âdî, wa_j’ali_lhayâta ziyâdatan lî fî kulli khair, wa_j’ali_lmauta râhatan lî min kulli syarr.
Ya Allah, perbaikilah agamaku, yang merupakan penjaga bagi segala urusanku, perbaikilah duniaku, yang padanya ada kehidupanku, perbaikilah akhiratku, yang merupakan tempat kembaliku. Jadikanlah hidup ini sebagai tambahan untukku dalam segala kebaikan, dan jadikanlah kematian sebagai tempat beristirahat untukku dari segala keburukan… [1]
Dan juga doa beliau;
اللهُمَّ رَحْمَتَكَ أرْجُوْ، فَلاَ نَكِّلْنِيْ إلىَ نَفْسِيْ طَرْفَةَ عَيْنٍ، وَأصْلِحْ لِيْ شَأنِيْ كُلهُ، إلا إلهَ إلا أنْتَ
Allahumma rahmataka arjû, fa lâ takkilnî ilâ nafsî tharfata ‘ain, wa ashlih lî sya’nî kullah, lâ ilâha illa anta.
Ya Allah, kasih sayang-Mu jualah yang aku harapkan, maka janganlah Engkau biarkan aku pada diriku sendiri sekejap mata pun. Perbaikilah untukku seluruh urusanku. Tiada ilâh (yang hak) selain Engkau… [2]
Jika bibir seorang hamba mengucapkan doa ini –yang mengandung kebaikan masa depan bagi nilai religinya maupun urusan dunianya; dengan menghadirkan hati, niat yang benar, dengan terus berupaya mewujudkan hal itu dengan berbuat, niscaya Allah akan mewujudkan apa yang ia minta dalam doanya. Apa yang ia harapkan dan upayakan itu akan menjadi kenyataan. Kegelisahannya pun akan berubah menjadi kebahagiaan dan kegembiraan.
(Al Wasâ-il al Mufîdah li al Hayât as Sa’îdah, Syaikh al ‘Allâmah Nâshir bin Abdurrahmân as Sa’dî rahimahullahu)
-------------------
[1] HR. Muslim
[2] HR. Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Hibban dan ath Thabrani
22 Juli 2012
Pembatal Puasa yang Mewajibkan Qadha' dan Kaffarah
Kita telah menyebutkan tentang perkara-perkara yang membatalkan puasa dan mewajibkan qadha' bagi pelakunya. Pada tulisan ini, akan dijelaskan sebuah perkara yang membatalkan puasa dan mewajibkan qadha' sekaligus kaffarah yang sangat berat, yaitu bersetubuh (jima').
Seseorang yang melakukan persetubuhan di siang hari Ramadhan dengan sadar, sengaja dan karena pilihan, maka dia telah melakukan salah satu dari dosa-dosa besar dan wajib membayar kaffarah disamping kewajiban mengqadha' puasanya tersebut menurut pendapat jumhur ulama fiqh, termasuk para Imam yang Empat, rahimahumullahu.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata : Ketika kami sedang duduk-duduk disisi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, tiba-tiba datanglah seorang laki-laki. Ia berkata, “Wahai Rasulullah, aku telah binasa!”
Beliau bertanya, “Ada apa denganmu?”
“Aku telah menyetubuhi istriku dan aku dalam keadaan berpuasa!”
“Apakah engkau bisa mendapatkan budak yang akan engkau bebaskan?”
“Tidak ada”.
“Apakah engkau mampu berpuasa dua bulan berturut-turut?”
“Tidak mampu”
“Apakah engkau mampu memberi makan 60 orang miskin?”
“Tidak”.
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam terdiam. Ketika kami dalam keadaan demikian, dibawakan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sebuah tempat berisi kurma. Beliau pun bersabda, “Dimana orang yang bertanya tadi?”
Ia berkata, “Saya!”
Beliau berkata, “Ambillah ini dan bersedekahlah dengannya”
Orang itu berkata, “Untuk orang yang lebih miskin dariku wahai Rasulullah?! Demi Allah, tidak ada penghuni rumah diantara dua sisi Madinah yang lebih miskin dari keluargaku”.
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pun tertawa sampai nampak gigi taringnya. Beliau akhirnya berkata, “Berikanlah makan untuk keluargamu”. [Terjemah HR. al Bukhary dan Muslim].
Dengan dalil hadits ini, jumhur ulama berpendapat bahwa seorang yang berpuasa dan melakukan persetubuhan di siang hari dengan sengaja, maka puasanya rusak dan dia wajib membayar kaffarah dan mengqadha’ puasanya, baik keluar maninya atau tidak keluar.
Sementara Imam Abu Muhammad ibnu Hazm rahimahullah berpendapat bahwa yang wajib baginya hanyalah kaffarah dan tidak mengqadha’.
******
Apakah Kaffarah Tersebut Wajib Secara Berurutan?
Jumhur ulama mewajibkan kaffarah tersebut secara berurutan. Maka tidak boleh seseorang membayar kaffarah dengan berpuasa 2 bulan berturut-turut kecuali setelah dia tidak mampu untuk membebaskan budak, dan tidak boleh memberi makan 60 orang miskin kecuali setelah dia tidak mampu untuk berpuasa 2 bulan tersebut. Pendapat lebih kuat dan lebih dekat kepada kehati-hatian. Wallahu a'lam.
******
Apakah Istri Juga Wajib Membayar Kaffarah?
Dalam hadits Abu Hurairah diatas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan laki-laki tersebut untuk membayar kaffarah dan beliau tidak menyebutkan apa-apa tentang wanita. Karena itulah ulama berselisih tentang istri yang digauli suaminya tersebut, apakah dia wajib membayar kaffarah sebagaimana halnya laki-laki? Ulama berbeda pendapat tentang masalah ini kepada tiga pendapat :
Pertama; tidak ada kaffarah untuknya secara mutlak. Ini adalah mazhab Imam asy Syafi’i dan satu pendapat Imam Ahmad.
Kedua; wanita tersebut membayar kaffarah sebagaimana halnya sang suami. Ini adalah pendapat jumhur ulama; Abu Hanifah, Malik, satu pendapat dari Imam asy Syafi’i dan riwayat yang paling shahih dari Imam Ahmad dengan sedikit perbedaan dalam hal jika wanita tersebut seorang wanita merdeka, budak atau dipaksa.
Ketiga; cukup bagi mereka berdua satu kaffarah kecuali jika kaffarahnya dalam bentuk puasa, maka itu wajib untuk keduanya. Dan ini adalah mazhab Imam al Auza’i rahimahullah.
Diantara ketiga pendapat tersebut, pendapat jumhur lebih kuat walaupun pendapat pertama pun tidak jauh dari kebenaran.
******
Apakah Kaffarah Tersebut Gugur karena Kemiskinan Pelakunya?
Ulama berbeda pendapat tentang masalah ini. Jumhur ulama mengatakan bahwa kaffarah tersebut tidak gugur karena tidak ada dalil yang mengisyaratkan itu dalam hadits. Bahkan yang bisa dipahami dari hadits, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam tetap mewajibkannya ketika beliau menanyakan tingkatan yang paling rendah dalam kaffarah, yaitu memberi makan, orang itu menjawab : "Tidak ada"; beliau diam dan tidak membebaskannya dari kewajiban. Hukum asalnya, kewajiban itu tetap ada , dan juga dengan mengqiyaskannya dengan seluruh bentuk kaffarah dan hutang yang tidak gugur hanya dikarenakan kemiskinan dan kefakiran.
Adapun keringanan yang diberikan kepada orang tersebut untuk memberikan makanan kaffarah itu kepada keluarganya, hal itu dikarenakan kaffarah yang dibayarkan oleh orang lain, boleh dimanfaatkan (dimakan) oleh orang yang berkewajiban membayar kaffarah dan juga diberikannya kepada keluarganya. Wallahu a'lam.
---------------------------
Sumber :
- Taudhîh al Ahkâm min Bulûgh al Marâm
- Shahîh Fiqh as Sunnah wa Adillatuhu wa Taudhîh Madzâhib al A-immah
21 Juli 2012
Apa Saja Perkara yang Mewajibkan Qadha dalam Batalnya Puasa?
Secara garis besar, puasa seseorang batal dengan hilangnya salah satu dari syarat-syaratnya sahnya atau tidak terpenuhinya salah satu dari rukun-rukunnya.
Para ulama telah berijma' bahwa wajib bagi orang yang berpuasa menahan diri selama masa berpuasa dari makan, minum dan bersetubuh.
Pembatal-pembatal puasa terbagi dua;
1. Pembatal yang mewajibkan qadha'
2. Pembatal yang mewajibkan kaffarah
Insyaallah kami akan membahasnya dalam dua tulisan, dan berikut ini adalah bagian pertamanya, yaitu pembatal-pembatal puasa yang mewajibkan qadha'.
******
1. Makan dan Minum dengan Sengaja dan Ingat Dirinya dalam Keadaan Puasa
Jika dia makan dan minum karena lupa, maka dia tetap melanjutkan puasanya dan tidak mengqadha’. Dari Abu Hurairah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
من نسي و هو صائم فأكل أو شرب فليتم صومه فإنما أطعمه الله و سقاه
“Siapa yang lupa dan dia dalam keadaan puasa, kemudian dia makan dan minum, maka hendaklah dia menyempurnakan puasanya karena sesungguhnya Allah yang memberinya makan dan minum tersebut”. [HR. al Bukhary dan Muslim]
2. Menyengaja Muntah
Kalau dia tidak mampu menahan dan muntah itu keluar dengan sendirinya, maka tidak ada kewajiban qadha’ atau kaffarah atasnya dengan kesepakatan ulama. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
من ذرعه القيء فليس عليه القضاء، و من استقاء عمدا فليقض
“Siapa yang terpaksa untuk muntah maka tidak ada kewajiban mengqadha’ atas dirinya, dan siapa yang secara sengaja muntah maka dia wajib mengqadha’.” [HR. Abu Dawud, at Tirmidzi, Ibnu Majah dan lain-lain, dishahihkan oleh al Albany]
3. Mengeluarkan Mani dengan Sengaja
Yaitu mengeluarkannya dengan sengaja untuk yang selain bersetubuh, seperti melakukan masturbasi, bercumbu dengan istri dan yang semacamnya dengan tujuan mengeluarkan mani dengan syahwat. Jika dia mengeluarkan mani dengan hal-hal tersebut secara sengaja dan ingat akan puasanya maka puasanya batal dan wajib mengqadha’ menurut jumhur ulama. Inilah pendapat yang paling benar dalam masalah tersebut dengan dalil hadits Qudsi :
يدع طعامه و شرابه و شهوته من أجلي
“Dia meninggalkan makan, minum dan syahwatnya untuk Aku”. [HR. al Bukhari dan Muslim]
Adapun jika dia membayangkan atau memandang yang mengakibatkan keluarnya mani, dan tidak secara sengaja ingin mengeluarkan mani dengan bayangan dan pandangan terhadap istrinya tersebut, maka puasanya tidak batal.
4. Meniatkan Berbuka
Jika seseorang meniatkan membatalkan puasanya dan dia dalam keadaan berpuasa, dan bertekad untuk berbuka dengan sengaja dan dalam keadaan ingat akan puasanya, maka puasanya batal walaupun dia tidak makan dan minum, karena
لكل امرئ ما نوى
“Bagi setiap orang apa yang dia niatkan”. [HR. al Bukhary dan Muslim]
Ini adalah mazhabnya Imam asy Syafi’i, dan yang kuat dalam pendapat Imam Ahmad, Abu Tsaur, mazhab Dzhahiriyah dan Ashabur Ra’yi (Abu Hanifah dan sahabat-sahabatnya).
5. Murtad dari Islam
Tidak ada perselisihan diantara para ulama bahwa orang yang murtad dari Islam saat berpuasa maka puasanya batal, dan dia wajib mengqadha’ jika dia kembali kepada Islam, baik ke-Islamannya kembali itu saat hari itu juga atau setelah selesainya hari tersebut. Allah Ta’ala berfirman :
لئن أشركت ليحبطن عملك
“Jika engkau melakukan kesyirikan, maka gugurlah amalanmu”. [QS. Az Zumar ayat 65]
Wallahu a'lam.
Membayar Fidyah dengan Uang
Orang tua yang sakit dan tidak mampu melakukan puasa, apakah diterima mengeluarkan uang sebagai pengganti makanan (fidyah)?
Alhamdulillah, kita harus mengetahui kaidah penting, yaitu bahwa apa yang Allah ‘azza wa jalla sebutkan dengan kata ‘memberi makanan’ atau ‘makanan’, maka harus dilakukan dengan memberi makan.
Allah telah berfirman :
وَعَلَى ٱلَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَن تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرَهُ وَ وَأَن تَصُومُواْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ
"Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui." (QS. Al-Baqarah: 184)
Allah berfirman terkait dengan tebusan (kaffarah) sumpah, "Maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. Barang siapa tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kaffaratnya puasa selama tiga hari. Yang demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu langgar). Dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan kepadamu hukum-hukum-Nya agar kamu bersyukur (kepada-Nya)." (terjemah QS. Al-Maidah: 89)
Dan dalam zakat fitrah. Nabi sallallahu ’alaihi wa sallam telah menetapkan zakat firah satu shâ’ dari jenis makanan. Jadi apa yang disebutkan makan atau memberi makan, maka ia tidak diterima dalam bentuk uang.
Kesimpulannya, orang tua yang yang kewajibannya memberi makanan sebagai pengganti puasa, tidak diterima pengganti makanan dengan uang, meskipun dikeluarkan seharga makanan sepuluh kali lipat, tetap tidak diterima. Karena itu berarti mengganti dari nash yang telah ada. Begitu juga zakat fitri, kalau mengeluarkan uang senilai sepuluh kali, tidak diterima sebagai pengganti satu shâ’ gandum. Karena harga tidak disebutkan dalam nash. Sementara Nabi sallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,
من عمل عملاً ليس عليه أمرنا فهو ردّ
"Barangsiapa yang melakukan suatu amalan yang bukan atas perintah kami, maka ia tertolak."
Maka kita katakan kepada saudara yang tidak mampu puasa karena usia lanjut, berikan makanan untuk satu orang miskin untuk sehari (dari puasa yang ditinggalkan).
Dalam memberi makanan ada dua cara. Cara Pertama, Anda bagikan kepada mereka di rumah-rumah masing-masing seperempat shâ’ dari beras dan ditambahi lauk pauk. Cara kedua, Anda membuat makanan dan mengundang mereka sebanyak orang miskin yang seharusnya Anda beri makan, yakni kalau telah lewat sepuluh hari, anda membuat makan malam dan mengundang makan malam sepuluh orang fakir untuk makan. Begitu juga pada sepuluh kedua dan sepuluh ketiga. Sebagaimana yang dilakukan oleh Anas bin Malik radhiyallahu’anhu ketika telah lanjut usia sehingga tidak mampu berpuasa, beliau memberi makan tiga puluh orang miskin pada hari terakhir bulan Ramadan.
Majmû’ fatâwa Ibn Utsaimîn, 19/116
------------------------------------------
Sumber : http://www.islamqa.info/
--OOO--
Alhamdulillah, kita harus mengetahui kaidah penting, yaitu bahwa apa yang Allah ‘azza wa jalla sebutkan dengan kata ‘memberi makanan’ atau ‘makanan’, maka harus dilakukan dengan memberi makan.
Allah telah berfirman :
وَعَلَى ٱلَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَن تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرَهُ وَ وَأَن تَصُومُواْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ
"Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui." (QS. Al-Baqarah: 184)
Allah berfirman terkait dengan tebusan (kaffarah) sumpah, "Maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. Barang siapa tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kaffaratnya puasa selama tiga hari. Yang demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu langgar). Dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan kepadamu hukum-hukum-Nya agar kamu bersyukur (kepada-Nya)." (terjemah QS. Al-Maidah: 89)
Dan dalam zakat fitrah. Nabi sallallahu ’alaihi wa sallam telah menetapkan zakat firah satu shâ’ dari jenis makanan. Jadi apa yang disebutkan makan atau memberi makan, maka ia tidak diterima dalam bentuk uang.
Kesimpulannya, orang tua yang yang kewajibannya memberi makanan sebagai pengganti puasa, tidak diterima pengganti makanan dengan uang, meskipun dikeluarkan seharga makanan sepuluh kali lipat, tetap tidak diterima. Karena itu berarti mengganti dari nash yang telah ada. Begitu juga zakat fitri, kalau mengeluarkan uang senilai sepuluh kali, tidak diterima sebagai pengganti satu shâ’ gandum. Karena harga tidak disebutkan dalam nash. Sementara Nabi sallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,
من عمل عملاً ليس عليه أمرنا فهو ردّ
"Barangsiapa yang melakukan suatu amalan yang bukan atas perintah kami, maka ia tertolak."
Maka kita katakan kepada saudara yang tidak mampu puasa karena usia lanjut, berikan makanan untuk satu orang miskin untuk sehari (dari puasa yang ditinggalkan).
Dalam memberi makanan ada dua cara. Cara Pertama, Anda bagikan kepada mereka di rumah-rumah masing-masing seperempat shâ’ dari beras dan ditambahi lauk pauk. Cara kedua, Anda membuat makanan dan mengundang mereka sebanyak orang miskin yang seharusnya Anda beri makan, yakni kalau telah lewat sepuluh hari, anda membuat makan malam dan mengundang makan malam sepuluh orang fakir untuk makan. Begitu juga pada sepuluh kedua dan sepuluh ketiga. Sebagaimana yang dilakukan oleh Anas bin Malik radhiyallahu’anhu ketika telah lanjut usia sehingga tidak mampu berpuasa, beliau memberi makan tiga puluh orang miskin pada hari terakhir bulan Ramadan.
Majmû’ fatâwa Ibn Utsaimîn, 19/116
------------------------------------------
Sumber : http://www.islamqa.info/
20 Juli 2012
Yang Boleh Memilih antara Berbuka atau Berpuasa
Dalam fiqh Islam, setiap muslim yang baligh, berakal, sehat, mukim dan suci dari haid dan nifas bagi kaum wanita, wajib untuk berpuasa di bulan Ramadhan dan tidak boleh berbuka tanpa sebuah uzur yang syar'i. Nah, ada sebagian orang yang diizinkan Syari'at untuk memilih berbuka atau tetap berpuasa pada bulan Ramadhan karena uzurnya tersebut. Siapa saja mereka itu? Berikut ini adalah pembahasannya. Semoga bermanfaat.
---OOOOO---
1. Orang Sakit
Para ulama secara umum telah bersepakat tentang bolehnya seorang yang sakit untuk berbuka dan menggantinya jika telah sembuh. Allah Ta’ala berfirman :
و من كان مريضا أو على سفر فعدة من أيام أخر
“Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajib baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu pada hari-hari yang lain”. [QS. 2 : 185]
Orang yang sakit memiliki tiga keadaan :
a. Sakitnya ringan dan tidak berpengaruh pada puasanya seperti pilek ringan, sakit kepala ringan, sakit gigi dan yang semacamnya. Yang seperti ini tidak boleh baginya untuk berbuka.
b. Sakitnya bertambah parah atau semakin lama untuk sembuh dan berat baginya berpuasa tapi tidak sampai membahayakan dirinya. Keadaan yang seperti ini dianjurkan baginya berbuka dan makruh baginya berpuasa.
c. Sangat berat baginya berpuasa dan bisa menyebabkan bahaya untuk dirinya. Kasus seperti ini haram baginya untuk berpuasa. Allah Ta’ala berfirman :
و لا تقتلوا أنفسكم
“Dan janganlah kamu membunuh dirimu”. [QS. 3 : 29]
2. Musafir
Disyari’atkan bagi musafir –dalam perjalanan yang dibolehkan baginya mengqashar shalat- untuk berbuka dengan dalil firman Allah :
و من كان مريضا أو على سفر فعدة من أيام أخر
“Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajib baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu pada hari-hari yang lain”. [QS. 2 : 185]
Jika seorang musafir berpuasa, maka puasanya sah. Ini adalah mazhab jumhur Sahabat, Tabi’in dan para Imam yang empat. Sementara diriwayatkan dari Abu Hurairah, Ibnu Umar dan Ibnu Abbas –dan ini juga mazhab Imam Ibnu Hazm- bahwa puasanya tidak sah dan musafir wajib mengqadha’ jika dia berpuasa dalam safarnya. Diriwayatkan pula pendapat tentang kemakruhannya, namun pendapat jumhur lebih kuat.
3. Orang yang telah Lanjut Usia dan Orang Sakit yang tidak bisa Diharapkan lagi Kesembuhannya
Ulama telah bersepakat bahwa orang-orang yang telah lanjut usia dan tidak mampu untuk berpuasa, boleh baginya untuk berbuka dan tidak ada kewajiban mengqadha’. Kemudian mereka berselisih apa yang wajib baginya jika dia berbuka?
Jumhur mengatakan ; wajib baginya memberi makan satu orang miskin bagi setiap satu hari yang ditinggalkan. Sementara Imam Malik berpendapat tidak wajib baginya memberi makan tersebut, hanya saja beliau menganggapnya sunnah. Dan pendapat jumhur lebih kuat.
Adapun orang sakit yang tidak mungkin diharapkan lagi kesembuhannya, maka hukumnya sama dengan orang yang telah lanjut usia.
4. Wanita Hamil dan Wanita Menyusui
Jika seorang wanita hamil khawatir terhadap janinnya, dan seorang wanita yang sedang menyusui khawatir akan bayi susuannya jika dia berpuasa karena kekurangan air susu dan sebagainya disebabkan oleh puasa, maka tidak ada perselisihan diantara ulama tentang bolehnya bagi kedua wanita tersebut untuk berbuka. Dalilnya sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam :
إن الله عز و جل وضع عن المسافر شطر الصلاة، و عن المسافر و الحامل و المرضع الصوم
“Sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla telah meringankan bagi musafir separuh shalat, dan memberi keringanan bagi musafir, wanita hamil dan wanita menyusui dalam masalah puasa”. [Hadits hasan diriwayatkan oleh Imam Ahmad]
Akan tetapi, ulama berselisih tentang kewajiban kedua wanita tersebut kalau mereka berbuka dan tidak berpuasa di bulan Ramadhan.
---OOOOO---
Apa yang Wajib bagi Wanita Hamil dan Wanita Menyusui Ketika Berbuka di Bulan Ramadhan
Ada lima pendapat ulama dalam masalah ini :
Pertama; wajib bagi keduanya qadha’ dan memberi makan seorang miskin untuk setiap hari yang ditinggalkan puasanya. Ini adalah pendapat para Imam; Malik, asy Syafi’i dan Ahmad.
Menurut mazhab Syafi’iyah dan Hanbali, jika keduanya berbuka karena khawatir terhadap dirinya sendiri, maka yang wajib baginya hanyalah qadha’ (!!)
Kedua; Wajib baginya qadha’. Inilah mazhab al Auza’i, ats Tsauri, Abu Hanifah dan sahabat-sahabatnya, Abu Tsaur dan Abu Ubaid. Mereka berdalil dengan persamaan yang disebutkan antara wanita hamil/ menyusui dengan musafir dalam hadits yang disebutkan diatas, atau mengqiyaskannya dengan orang sakit atau musafir.
Ketiga; wajib bagi keduanya memberi makan saja tanpa mengqadha’. Inilah pendapat Ibnu Abbas dan Ibnu Umar, dan ini adalah mazhab Ishaq dan dipilih oleh Syaikh al Albany.
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa beliau berkata : “Diberikan keringanan bagi seorang laki-laki yang lanjut usia dan seorang wanita yang lanjut usia dalam masalah tersebut, sementara mereka mampu berpuasa. Mereka berdua boleh berbuka jika menginginkannya dan memberi makan seorang miskin bagi setiap hari yang ditinggalkan, dan tida ada kewajiban qadha’ atas mereka berdua. Kemudia hal itu di-nasakh (dihapus hukumnya) dalam ayat ini :
فمن شهد منكم الشهر فليصمه
“Siapa diantara kalian yang menyaksikan bulan tersebut (di negerinya), maka hendaklah dia berpuasa”. [QS. Al Baqarah ayat 185].
Maka telah tetap hukum bagi laki-laki dan perempuan yang telah lanjut usia jika mereka tidak mampu lagi berpuasa, dan (demikian pula) wanita hamil dan wanita menyusui jika mereka berdua khawatir, mereka memberi makan satu orang miskin bagi setiap hari tersebut”. [Diriwayatkan oleh Ibnul Jarud (381) dan al Baihaqi (IV/ 230) dengan sanad yang shahih]
Perkataan Ibnu Abbas : “telah tetap”, memberikan gambaran bahwa hukum memberi makan tersebut disyariatkan bagi orang yang tidak mampu berpuasa sebagaimana disyariatkan juga bagi orang tua yang masih mampu berpuasa. Kemudian hukum bagi orang yang masih mampu berpuasa dimansukh dan hukum bagi yang tidak mampu berpuasa tetap berlaku, yaitu dengan memberi makan satu orang miskin bagi setiap ahri yang ditinggalkan, dan hukum tersebut berlaku juga bagi wanita hamil dan menyusui.
Dari Nafi’, ia berkata : “Puteri Ibnu Umar bersuamikan seorang laki-laki dari Quraisy, dan ia sedang hamil. Ia ditimpa dahaga yang berat saat bulan Ramadhan. Maka Ibnu Umar menyuruhnya untuk berbuka dan memberi makan satu orang miskin bagi setiap hari tersebut”. [Diriwayatkan oleh Imam ad Daruquthni (II/ 207) dengan sanad yang shahih]
Keempat; wajib mengqadha’ bagi wanita hamil dan memberi makan bagi wanita yang sedang menyusui. Pendapat ini adalah perkataan Imam Malik dan satu pendapat dalam mazhab Syafi’iyah.
Kelima; tidak wajib bagi keduanya qadha’ dan tidak pula memberi makan, dan ini adalah mazhab Imam Ibnu Hazm.
Pendapat yang rajih, wallahu a’lam, adalah pendapat yang ketiga, yaitu memberi makan satu orang miskin bagi setiap hari yang ditinggalkan. Karena ini adalah pendapat Ibnu Abbas dan Ibnu Umar, dan tidak diketahui ada sahabat yang menyelisihi mereka dalam persoalan ini.
--------------------------
Sumber :
Shahîh Fiqh as Sunnah wa Adillatuhu wa Taudhîh Madzâhib al A-immah
Sunnah-Sunnah & Adab-Adab Puasa Ramadhan
Alhamdulillah, sebentar lagi kita akan memasuki bulan Ramadhan yang mulia. Bulan yang penuh dengan keberkahan dan keutamaan. Setiap kita tentu saja berharap agar bulan ini menjadi bulan kebaikan untuk diri kita, keluarga dan segenap kaum muslimin. Salah satu sarana untuk menggapai keutamaan di bulan suci ini tentu adalah berpuasa dengan menjaga adab2 dan sunnah-sunnah yang datang dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Terutama di zaman kebodohan ini, ketika umat terjerumus kepada berbagai penyimpangan dan kekeliruan. Barangkali saja dengan menghidupkan sunnah-sunnah tesebut, Allah berkenan untuk menghancurkan bid'ah dan berbagai macam penyimpangan dalam aqidah dan ibadah, serta menolong umat ini atas musuh-musuhnya. Amin.
******
1. Sahur
Dari Anas bin Malik bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
تسحروا فإن فى السحور بركة
“Bersahurlah kalian, karena dalam sahur ada keberkahan”. [HR. al Bukhary dan Muslim]
Dari ‘Amr ibnul ‘Ash, ia berkata : Bersabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam :
فصل ما بين صيامنا و صيام أهل الكتاب أكلة السحور
“Pembeda antara puasa kita dan puasa Ahli Kitab adalah makan sahur”. [HR. Muslim]
Bahkan beliau memerintahkan sahur walaupun hanya dengan seteguk air. Dari Abdullah bin ‘Amr bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
تسحروا ولو بجرعة ماء
“Bersahurlah kalian walaupun hanya dengan seteguk air”. [Hadits hasan riwayat Imam Ibnu Hibban]
2. Mengakhirkan Sahur
Dalam hadits Anas dari Zaid bin Tsabit ia berkata :
تسحرنا مع النبي صلى الله عليه و سلم ثم قام إلى الصلاة، قلت : كم بين الأذان و السحور؟ قال : قدر خمسين آية
“Kami bersahur bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kemudian beliau pergi menunaikan shalat”
Aku bertanya : “Berapa jarak antara adzan dan (permulaan) sahur tersebut?”
Ia menjawab : “Kurang lebih (bacaan) 50 ayat”. [HR. al Bukhary dan Muslim]
3. Menyegerakan Berbuka
Dari Sahl bin Sa’ad bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
لا يزال الناس بخير ما عجلوا الفطر
“Senantiasa manusia dalam kebaikan selama mereka menyegerakan berbuka”. [HR. al Bukhary dan Muslim].
4. Berbuka dengan Kurma jika Memungkinkan
Dari Anas ia berkata :
كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يفطر على رطبات قبل أن يصلي، فإن لم تكن رطبات فعلى تمرات، فإن لم تكن حسا حسوات من الماء
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berbuka dengan beberapa ruthab sebelum shalat, jika tidak ada ruthab, beliau berbuka dengan beberapa tamr, jika tidak ada, beliau berbuka dengan air”. [HR. Abu Dawud dan at Tirmidzi, hadits hasan]
Ruthab ; kurma yang masih basah, tamr ; kurma yang telah mongering.
5. Berdoa; yaitu dengan doa berikut ;
Dari Ibnu Umar ia berkata : Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam jika berbuka beliau membaca :
ذهب الظمأ و ابتلت العروق و ثبت الأجر إن شاء الله
Dzahaba_dzh_dzhoma-u, wa_btallati_l_'uruuq, wa tsabata_l_ajru insyaa-allaahu
“Telah hilang dahaga, telah basah tenggorokan, dan telah tetap pahala insyaallah”. [HR. Abu Dawud, an Nasa’i dalam al Kubra dan Ibnu as Sunni, dishahihkan oleh al Albani]
6. Bersikap Dermawan, Membaca dan Mempelajari al-Quran
Dari Ibnu Abbas,ia berkata : “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah orang yang paling dermawan dengan kebaikan. Dan beliau sangat dermawan saat Ramadhan ketika dijumpai oleh Jibril. Jibril ‘alaihissalam selalu menjumpai beliau setiap malam pada bulan Ramadhan sampai selesai dan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam membacakan al Quran kepadanya. Jika Jibril menjumpainya, maka beliau lebih dermawan dalam kebaikan melebihi angin yang berhembus”. [HR. al Bukhary dan Muslim]
7. Menjauhi Perkara-Perkara yang bisa Mengurangi Pahala Puasa
Karena itulah wajib menjaga lisan dari berkata-kata kotor, dusta, ghibah, mengadu domba, berdebat dan menjaga anggota tubuh dari segala perbuatan yang diharamkan. Itulah hikmah dari puasa sebagaimana yang Allah firmankan :
يا أيها الذين ءامنوا كتب عليكم الصيام كما كتب على الذين من قبلكم لعلكم تتقون
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang terdahulu agar kamu bertakwa”. [QS. Al Baqarah ayat 183]
Dan ketakwaan tersebut diperoleh dengan mengerjakan perintah dan menjauhi larangan.
Dalam hadits, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
من لم يدع قول الزور و العمل به فليس لله حاجة فى أن يدع طعامه و شرابه
“Siapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan beramal dengannya, maka Allah tidak butuh kepada dia meninggalkan makan dan minumnya”. [HR. al Bukhary, Abu Dawud dan at Tirmidzi]
Beliau juga bersabda :
إذا كان يوم صوم أحدكم فلا يرفث و لا يصخب ولا يجهل، فإن شاتمه أحد أو قاتله فليقل : إني صائم
“Jika hari berpuasa salah seorang dari kalian, maka janganlah dia berkata-kata kotor, jangan membuat keributan dan jangan bertindak bodoh. Jika seseorang mencacinya atau mengajaknya berkelahi, maka katakanlah : Aku sedang berpuasa!”. [HR. al Bukhary dan Muslim]
Semoga Allah Yang Maha Kasih mempertemukan kita dengan Ramadhan, memberikan kekuatan kepada kita untuk beramal shalih dan menerima amal-amal kita di bulan tersebut. Amin.
******
Sumber :
Shahîh Fiqh as Sunnah wa Adillatuhu wa Taudhîh Madzâhib al A-immah