Sponsors

19 Juli 2012

Dengan Ru'yah, Bukan Hisab

Metode untuk mengetahui munculnya hilal adalah dengan ru’yah (melihat dengan mata) bukan dengan yang selainnya. Penetapan tempat terbit bulan dengan menggunakan metode hisab dalam peribadatan tidaklah sah. Dalil-dalil yang sangat banyak dan jelas dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah menunjukkan akan hal tersebut. Diantaranya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa beliau bersabda :

(( إنا أمة أمية لا نكتب و لا نحسب، الشهر هكذا هكذا )) يعني مرة تسعة و عشرين و مرة ثلاثين

"Sesungguhnya kami adalah kaum yang ummi. Kami tidak menulis dan tidak menghitung. (Hitungan) bulan itu sekian dan sekian"; maksudnya 29 hari atau 30 hari.[1]

******

Berkata Imam an Nawawi rahimahullahu berkata :

قال الجمهور ومن قال بتقدير الحساب فهو منابذ لصريح باقي الروايات، وقوله مردود، ومن قال بحساب المنازل فقوله مردود بقوله صلى الله عليه وسلم في «الصحيحين» «إنا أمة أمية لا نحسب ولا نكتب الشهر هكذا وهكذا» الحديث قالوا ولأن الناس لو كلفوا بذلك ضاق عليهم، لأنه لا يعرف الحساب إلا أفراد من الناس في البلدان الكبار، فالصواب ما قاله الجمهور، وما سواه فاسد مردود بصرائح الأحاديث السابقة . انتهى

"Berkata Jumhur : Barangsiapa yang berpendapat dengan perkiraan hisab (penghitungan), maka dia telah mencampakkan riwayat-riwayat lain yang sangat jelas dan perkataannya tertolak.

Barangsiapa yang berpendapat dengan penetapan hisab falaki maka perkataannya tertolak dengan sabdanya shallallahu 'alaihi wasallam dalam 'Shahihain' : 'Kami adalah kaum yang ummi. Kami tidak menghitung dan tidak menulis. Sebulan adalah sekian dan sekian (hari)', al hadits.

Jumhur juga berkata : Jika manusia dibebankan dengan perkara tersebut, maka itu akan menyusahkan mereka. Karena tidak ada yang memahami hisab tersebut kecuali orang-orang tertentu saja di negeri-negeri yang besar. Pendapat yang benar adalah pendapat jumhur. Adapun yang selain itu adalah pendapat yang rusak, tertolak dengan dalil hadits-hadits yang sangat jelas yang telah disebutkan"[2]

******

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu ta’ala :

فإن الهلال مأخوذ من الظهور ، ورفع الصوت ، فطلوعه في السماء إن لم يظهر في الأرض فلا حكم له لاباطناً ولا ظاهر

"(Kata) 'hilal' ( هلال ) diambil dari makna الظهور (nampak) dan رفع الصوت  (kerasnya suara). Maka terbitnya hilal itu di langit dan tidak nampaknya di bumi, tidak memiliki konsekuensi hukum apa-apa secara bathin maupun zhahir…". [3]

Beliau juga berkata tentang hisab :

هذا قول ما قال به مسلم

"Ini adalah perkataan yang tidak diucapkan oleh seorang muslim". [4]

Beliau juga mengatakan tentang orang yang menetapkan masuknya bulan dengan hisab :

ضال في الشريعة مبتدع في الدين مخالف للعقل

"Menyimpang dari Syariat, pelaku bid’ah dalam agama dan menyelisihi akal!". [5]


Syaikhul Islam rahimahullahujuga berkata :

"Beliau mensifatkan umat ini dengan meninggalkan penulisan (al Kitab) dan penghitungan (al Hisab) yang dilakukan umat-umat yang selainnya pada waktu-waktu peribadatan dan hari-hari raya mereka, dan mengarahkan umatnya kepada ru’yah dimana beliau bersabda dalam banyak hadits ;

صوموا لرؤيته و أفطروا لرؤيته

Berpuasalah dengan melihatnya dan berbukalah dengan melihatnya (yaitu hilal)[6]

Dalam riwayat lain :

صوموا من الوضح إلى الوضح

Berpuasalah dari yang jelas kepada yang jelas’; yaitu dari hilal ke hilal (berikutnya) [7]

Ini merupakan dalil atas apa yang telah disepakati oleh kaum muslimin –kecuali oleh mereka yang menyendiri dari sebagian orang-orang yang datang belakangan, menyelisihi dan mereka telah didahului oleh ijma’-; bahwa waktu-waktu puasa, berbuka (Idul Fitri) dan menyembelih (Idul Adha) hanyalah dilaksanakan dengan ru’yah saat memungkinkan, bukan dengan penulisan dan penghitungan sebagaimana yang dilakukan oleh bangsa-bangsa ‘ajam dari Romawi, Persia, Koptik, India dan Ahli Kitab dari Yahudi dan Nasrani". [8]

******

Semoga kaum muslimin bisa memahami dengan baik arti pentingnya metode ru'yah dalam penentuan hari-hari ibadah peribadatan umat Islam, dan bersedia rujuk kepada kebenaran. Wallahul musta'an.

--------------------------

Footnotes

[1]  HR. al Bukhary dan Muslim

[2]  Al Majmû’, VII/270

[3]  Majmû’ Fatâwâ, XXV/ 109

[4]  Majmû’ Fatâwâ, XXV/ 132

[5]  Majmû’ Fatâwâ, XXV/ 207

[6]  HR. al Bukhary dan Muslim

[7]  Disebutkan oleh Imam as Suyuthi dalam al Jâmi’ ash Shaghîr dan beliau sandarkan kepada Imam ath Thabrani dalam al Mu’jam al Kabîr

[8]  Iqtidhâ’ ash Shirâth al Mustaqîm li Mukhâlafah Ashâb al Jahîm, I/ 285-286

---------------------------

Sumber

1. Majmû’ Fatâwâ Syaikhil Islam Ibn Taimiyyah, dikumpulkan oleh Syaikh Abdurrahmân bin al Qâsim rahimahullahu

2. Iqtidhâ’ ash Shirâth al Mustaqîm li Mukhâlafah Ashâb al Jahîm, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, tahqiq dan ta’liq oleh Syaikh Nâshir bin Abdul Karîm al ‘Aql

3. Shahîh Fiqh as Sunnah wa Adillatuh wa Taudhîh Madzâhib al A-immah, Abu Mâlik Kamâl as Sayyid Sâlim                        

0 tanggapan:

Posting Komentar