Sponsors

14 Juli 2012

Prinsip Salafiyyah dalam Tauhid al-Asma' wa ash-Shifat

Tauhid al-Asma' wa ash-Shifat, maknanya adalah keyakinan yang kuat bahwa Allah ‘azza wa jalla memiliki nama-nama yang yang baik dan sifat-sifat yang mulia. Dia disifatkan dengan segala bentuk sifat kesempurnaan, dan suci dari segala kekurangan. Tidak ada yang menandingi-Nya dalam kesempurnaan tersebut di alam raya ini.


Ahlussunnah wal Jama'ah mengenal Rabb-nya dengan sifat-sifat-Nya yang ada dalam al Quran dan Sunnah. Mereka mensifatkan Rabb-nya dengan apa yang Dia sifatkan untuk Diri-Nya sendiri, dan apa yang disifatkan oleh rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam. Mereka tidak pernah merubah perkataan dari tempatnya dan tidak melakukan penyimpangan dalam nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Mereka tetapkan bagi Allah apa yang telah Dia tetapkan untuk Diri-Nya sendiri tanpa tamtsîl (menyerupakannya dengan makhluk), tanpa takyîf (menyebutkan kaifiyat/substansi sifat), tanpa ta’thîl (menolak sebagian atau seluruh sifat-sifat tersebut) dan tanpa tahrîf (merubah makna atau lafaznya).

Kaedah mereka dalam perkara ini adalah firman-Nya :

ليس كمثله شيئ وهو السميع البصير

"Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat". (QS. Asy Syûrâ ayat 11)

Dan juga firman-Nya :

ولله الأسماء الحسنى فادعوه بها وذروا الذين يلحدون فى أسمائه سيجزون ما كانوا يعملون

"Hanya milik Allah al asmâ’ al husnâ, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut al asmâ’ al husnaâ itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan". (QS. Al A'râf ayat 180)

Ahlussunnah wal Jama'ah tidak menetapkan kaifiyat/substansi sifat tertentu dari sifat-sifat Allah Ta'ala karena Dia tidak pernah mengabarkan perkara tersebut. Tidak ada yang lebih tahu tentang Diri-Nya kecuali Dia sendiri.

قل أأنتم أعلم أم الله

"Katakanlah : Apakah kamu yang lebih mengetahui ataukah Allah?" (QS. Al Baqarah ayat 140)

Dan tidak ada yang lebih mengenal Allah setelah Allah melainkan rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam yang Allah telah berfirman tentangnya :

وما ينطق عن الهوى إن هو إلا وحي يوحى

"Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)". (QS. An Najm ayat 3 dan 4)

Maka, Ahlussunnah wal Jamaah menetapkan bagi Allah sifat mendengar, melihat, ilmu, kekuatan, kemuliaan, berbicara, tangan, mata dan lain-lain, dari sifat-sifat yang Dia telah mensifatkan Diri-Nya dengan sifat-sifat tersebut dalam Kitab-Nya, dan melalui lisan rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam dengan kaifiyat sifat/substansi yang diketahui-Nya dan tidak diketahui oleh kita, karena Dia tidak pernah mengabarkan kaifiyat sifat tersebut.

******

Ahlussunnah wal Jama’ah beriman bahwa sebagaimana Dzat Allah Ta’ala tidak menyerupai dzat para makhluk, maka demikian pula seluruh sifat-sifat-Nya tidak menyerupai sifat-sifat siapa pun. Karena Dia Yang Maha Suci, tidak ada yang sebanding dengan-Nya, tidak ada yang setara dengan-Nya dan tidak ada sekutu bagi-Nya, serta tidak diqiyaskan dengan makhluk-Nya.

 Ahlussunnah menetapkan bagi Allah apa yang Dia tetapkan untuk Diri-Nya sendiri dengan sebuah penetapan tanpa tamtsîl dan pensucian tanpa ta’thîl. Jadi, ketika mereka menetapkan bagi Allah apa yang Dia tetapkan untuk Diri-Nya, mereka tidak pernah menyerupakan-Nya dengan makhluk-Nya (tamtsîl). Dan ketika mereka mensucikannya dari penyerupaan tersebut, mereka tidak pernah menolak sifat-sifat yang telah Dia tetapkan untuk Diri-Nya sendiri (ta’thîl).[1]

Mereka beriman bahwa Allah Yang Maha Perkasa ber-istiwa’[2] diatas ‘Arsy, diatas seluruh langit yang tujuh, terpisah dari makhluk-Nya, dan Dia meliputi mereka semua dengan ilmu-Nya sebagaimana yang Dia kabarkan tentang Diri-Nya sendiri dalam Kitab-Nya yang mulia pada tujuh ayat tanpa takyîf (menyebutkan/mempertanyakan kaifiyat/bentuk/substansi sifat tersebut). [3]

Allah Ta'ala berfirman :

الرحمن على العرش استوى

"Yang Maha Pemurah, Yang beristiwa’ diatas ‘Arsy". (QS. Thâha ayat 5)

ثم استوى على العرش

"Kemudian Dia beristiwa’ diatas ‘Arsy". (QS. Al Hadîd ayat 4)

أأمنتم من فى السماء أن يخسف بكم الأرض فإذا هي تمور، أم أمنتم من فى السماء أن يرسل عليكم حاصبا فستعلمون كيف نذير

"Apakah kamu merasa aman terhadap Allah Yang di langit bahwa Dia akan menjungkir balikkan bumi bersama kamu, sehingga dengan tiba-tiba bumi itu berguncang?
Ataukah kamu merasa aman terhadap Allah Yang di langit bahwa Dia akan mengirimkan badai yang berbatu. Maka kelak kamu akan mengetahui bagaimana (akibat mendustakan) peringatan-Ku". (QS. Al Mulk ayat 16-17)

إليه يصعد الكلم الطيب والعمل الصالح يرفعه

"Kepada-Nya-lah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang shaleh dinaikkan". (QS. Fâthir ayat 10)

يخافون ربهم من فوقهم

"Mereka (para malaikat) takut kepada Rabb mereka yang diatas mereka". (QS. An Nahl ayat 50)

Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :

ألا تأمنوني وأنا أمين من فى السماء

"Tidakkah kalian memberi jaminan keamanan kepadaku dan aku adalah kepercayaan (Dzat) Yang berada di langit". (HR. al Bukhary dan Muslim)

******

Ahlussunnah wal Jama’ah beriman bahwa Kursi dan ‘Arsy adalah hak dan benar adanya. Allah Ta’ala berfirman :

وسع كرسيه السموات والأرض ولا يؤوده حفظهما وهو العلي العظيم

"Kursi Allah meliputi langit dan bumi. Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar". (QS. Al Baqarah ayat 255)

Tidak ada yang mengetahui kadar besarnya ‘Arsy kecuali Allah. Kedudukan Kursi dibandingkan ‘Arsy ibarat sebuah gelang yang tergeletak di sebuah padang yang luas, seluas langit dan bumi. Allah tidak butuh kepada ‘Arsy dan Kursi. Dia tidak ber-istiwa’ diatas ‘Arsy karena kebutuhan-Nya kepadanya, akan tetapi untuk satu hikmah yang Dia ketahui. Dia Maha Suci dari membutuhkan ‘Arsy atau yang lebih rendah dari ‘Arsy. Urusan Allah lebih besar dan agung daripada perkara tersebut, bahkan ‘Arsy dan Kursi dipikul oleh para Malaikat dengan kekuatan dan kekuasaan-Nya.

Mereka juga beriman bahwa Allah telah menciptakan Adam ‘alaihissalam dengan kedua Tangan-Nya. Kedua Tangan-Nya terbuka, dan Dia memberikan rezki bagaimana saja yang Dia kehendaki, sebagaimana yang Dia sifatkan tentang Diri-Nya sendiri.

وقالت اليهود يد الله مغلولة غلت أيديهم ولعنوا بما قالوا بل يداه مبسوطتان ينفق كيف يشاء

"Orang-orang Yahudi berkata, 'Tangan Allah terbelenggu'; sebenarnya tangan merekalah yang dibelenggu dan merekalah yang dilaknat disebabkan apa yang telah mereka katakan itu. (Tidak demikian), tetapi kedua-dua Tangan Allah terbuka, Dia menafkahkan sebagaimana Dia kehendaki". (QS. Al Mâ-idah ayat 64)

يا إبليس ما منعك أن تسجد لما خلقت بيديّ

"Hai Iblis, apakah yang menghalangi kamu sujud kepada yang telah Aku ciptakan dengan kedua Tangan-Ku". (QS. Shâd ayat 75)

Mereka menetapkan bagi-Nya sifat mendengar dan melihat,

إنني معكما أسمع وأرى

"Sesungguhnya Aku beserta kamu berdua, Aku mendengar dan melihat". (QS. Thâha ayat 46);

sifat ilmu,

وهو العليم الحكيم

"Dan Dia Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana". (QS. At Tahrîm ayat 2);

sifat berbicara,

وكلم الله موسى تكليما

"Dan Allah telah berbicara kepada Musa secara langsung". (QS. An Nisâ’ ayat 164);

sifat wajah,

ويبقى وجه ربك، ذو الجلال والإكرام

"Dan tetap kekal Wajah Rabb-mu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan". (QS. Ar Rahmân ayat 27);

sifat kehidupan,

الله لا إله إلا هو الحي القيوم

"Allah, tiada ilâh (yang hak) melainkan Dia; Yang hidup kekal lagi terus menerus mengurus makhluk-Nya". (QS. Âlu Imrân ayat 2);

sifat marah,

غضب الله عليهم

"Allah murka kepada mereka". (QS. Al Mumtahanah ayat 13);

dan lain-lainnya dari ayat-ayat yang menyebutkan tentang sifat-sifat Allah Ta'ala.

******

Ahlussunnah wal Jama’ah beriman bahwa orang-orang mukmin akan melihat Rabb-nya di akhirat dengan mata-mata mereka sendiri, menziarahi-Nya, Dia berbicara kepada mereka dan mereka pun berbicara kepada-Nya.

وجوه يومئذ ناضرة، إلى ربها ناظرة

"Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Rabb-nyalah wajah-wajah (mereka itu) melihat". (QS. Al Qiyâmah ayat 22-23)

Mereka akan melihat-Nya sebagaimana disabdakan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam :

إنكم سترون ربكم كما ترون القمر ليلة البدر، لا تضامون فى رؤيته

"Sungguh, kalian akan melihat Rabb kalian sebagaimana kalian melihat rembulan pada malam purnama. Kaian tidak akan dihalangi dari memandang kepada-Nya." (HR. al Bukhary dan Muslim)

Dan Allah Yang Maha Mulia turun ke langit dunia pada sepertiga malam terakhir, dengan sifat turun yang hakiki dan bukan kiasan (majaz), sifat turun yang layak  bagi Keagungan dan Kemuliaan-Nya.

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :

ينزل ربنا إلى السماء الدنيا كل ليلة حين يبقى ثلث الليل الآخر فيقول : من يدعوني فأستجيب له؟ من يسألني فأعطيه؟ من يستغفرني فأغفر له؟

"Rabb kita turun ke langit dunia pada setiap malam ketika tersisa sepertiga malam yang terakhir. Maka Dia akan berkata : 'Siapa yang akan berdoa kepada-Ku, sehingga Aku mengabulkan doanya? Siapa yang meminta kepada-Ku sehingga Aku memberikan permintaannya? Siapa memohon ampun kepada-Ku sehingga Aku mengampuninya?'." (HR. al Bukhary dan Muslim)


Mereka juga beriman bahwa Allah Ta’ala akan datang pada Hari Kiamat untuk mengadili para hamba, dengan sifat datang yang hakiki, yang layak bagi Keagungan-Nya. Allah Ta’ala berfirman :

كلا إذا دكت الأرض دكًا دكًا، وجاء ربك والملك صفًا صفًا

"Jangan (berbuat demikian). Apabila bumi digoncangkan berturut-turut, dan datanglah Rabb-mu; sedang malaikat berbaris-baris". (QS. Al Fajr ayat 21-22)

هل ينظرون إلا أن يأتيهم الله فى ظلل من الغمام والملائكة وقضي الأمر

"Tiada yang mereka nanti-nantikan melainkan datangnya Allah dan malaikat (pada hari Kiamat) dalam naungan awan, dan diputuskanlah perkaranya. Dan hanya kepada Allah dikembalikan segala urusan". (QS. Al Baqarah ayat 210)

Manhaj Ahlussunnah wal Jama’ah dalam semua ini adalah iman yang sempurna dengan segala apa yang Allah kabarkan dalam Kitab-Nya, dan dikabarkan rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam, serta tunduk pasrah terhadapnya.

Sebagaimana perkataan Imam az Zuhry rahimahullahu : "Dari Allah (datangnya) risalah ini, kewajiban Rasul menyampaikan, dan kewajiban kita adalah menerimanya dengan ketundukan". (Riwayat Imam al Baghawi dalam Syarh as Sunnah)

Sebagaimana perkataan Imam Sufyan bin Uyainah rahimahullahu : "Setiap apa yang Allah sifatkan tentang Diri-Nya dalam al-Quran, maka bacaannya, tafsirannya adalah tanpa kaif [4], tanpa penyerupaan". (R. Imam al Lâlikâ-i dalam Syarh Ushûl I'tiqâd Ahl as Sunnah wa al Jamâ'ah)

Dan sebagaimana perkataan Imam asy Syafi’i rahimahullahu : "Saya beriman kepada Allah, dan apa yang datang dari Allah, sesuai dengan apa yang dimaksudkan Allah; dan saya beriman kepada Rasulullah dan apa yang datang dari Rasulullah sesuai dengan apa yang dimaksudkan Rasulullah". (Lum'ah al I'tiqâd, oleh Imam Ibnu Qudâmah al Maqdisi).

******

Berkata al Walîd bin Muslim : Saya bertanya kepada al Auza’i, Sufyan bin Uyainah dan Malik bin Anas tentang hadits-hadits mengenai sifat-sifat dan melihat (Allah), maka mereka semua menjawab : "Biarkanlah hadits-hadits itu sebagaimana dia datang tanpa kaif". (R. Imam al Baghawi)

 Berkata Imam Malik bin Anas rahimahullahu : "Jauhilah oleh kalian bid'ah-bid'ah!"

Dikatakan padanya : "Apakah bid'ah-bid'ah tersebut?"

Beliau menjawab : "Ahli bid'ah, mereka adalah orang-orang yang berbicara tentang nama-nama Allah, sifat-sifat, perkataan, ilmu dan kekuasaan-Nya, dan mereka tidak mau berdiam diri dari apa yang telah didiamkan oleh para Sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik (Tabi'in)". (R. Imam al Baghawi)

Seorang laki-laki pernah bertanya tentang ayat : ( الرحمن على العرش استوى )
Ia berkata : "Bagaimana Dia ber-istiwâ'?"

Imam Malik menjawab : "Istiwâ' bukanlah perkara yang tidak diketahui, kaifiyatnya tidak bisa dicerna oleh akal, beriman kepadanya adalah wajib dan mempertanyakannya adalh bid’ah. Dan aku tidak melihatmu melainkan orang yang sesat!!", dan beliau pun menyuruh untuk mengusir orang tersebut. (R. Imam al Baghawi)

Berkata Imam Abu Hanifah rahimahullahu : "Tidak pantas bagi seorang pun berbicara tentang Dzat Allah dengan sesuatu. Akan tetapi, dia mensifatkan-Nya dengan apa yang Dia sifatkan tentang Diri-Nya sendiri, dan tidak boleh berbicara sesuatu tentang-Nya dengan akalnya. Maha Suci Allah Ta’ala, Rabb semesta alam". (Syarh al 'Aqîdah ath Thahâwiyah, Imam Ibnu Abil 'Izz)

Dan ketika beliau ditanya tentang sifat turun (an Nuzûl), beliau berkata : "Dia turun tanpa kaif". (Syarh al 'Aqîdah ath Thahâwiyah)

Berkata Imam Nu'aim bin Hammad al Khuza'i rahimahullahu : "Siapa yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya maka dia telah kafir; siapa yang mengingkari apa yang Allah sifatkan tentang Diri-Nya maka dia telah kafir; dan bukanlah apa yang Allah sifatkan tentang Diri-Nya atau disifatkan rasul-Nya bagian dari tasybih (penyerupaan Allah dengan makhluk-Nya)". (R. Imam adz Dzahabi dalam al 'Uluww li al 'Aliyy al Ghaffâr)

Dan sebagian Salaf mengatakan : "Kaki Islam tidak akan kokoh kecuali diatas titian kepasrahan". (R. Imam al Baghawi)

Wallahu a'lam.

=======================

Footnotes :

[1] Dan tidak boleh sedikit pun mengkhayalkan kaifiyat/bentuk/substansi dari Dzat atau sifat-sifat Allah tersebut.

[2] Kata "istawâ" (  استوى) menurut tafsiran para Salaf adalah berdiam (  استقرّ), tinggi (  علا), naik meninggi (  ارتفع) dan naik (  صعد). Para Salaf menafsirkan kata tersebut dengan makna-makna tersebut dan mereka tidak melampaui makna-makna itu dan tidak pula menambahkannya. Dan sama sekali tidak pernah disebutkan dalam tafsiran para Salaf bahwa kata "istawâ" bermakna berkuasa (  استولى), memiliki (  ملك) atau memaksa (  قهر).

Kesimpulannya : substansi dari sifat ini adalah perkara yang tidak diketahui kecuali oleh Allah, beriman kepadanya adalah wajib karena adanya dalil-dalil yang sangat jelas dan mempertanyakan substansinya adalah bid’ah karena substansi sifat tersebut tidak diketahui kecuali oleh Allah dan juga tidak pernah ditanyakan oleh para Sahabat radhiyallahu ‘anhum.

[3] Yaitu dalam Al-A'râf ayat 54, Yûnus ayat 3, Ar-Ra’ad ayat 2, Thâha ayat 5, Al-Furqân ayat 59, As-Sajdah ayat 4 dan Al-Hadîd ayat 4.

[4] Perkataan beliau, "tanpa kaif" ( بلا كيف ) tidaklah dimaksudkan menolak kaifiyat/ cara secara mutlak. Namun yang dimaksud adalah menolak untuk menvisualisasikan, menggambarkan atau mempertanyakan kaifiyat/ cara/ substansi dari sifat tersebut atau menyamakannya dengan sifat makhluk-Nya.

Kaedah dalam masalah ini adalah jawaban Imam Malik ketika beliau ditanya tentang sifat Allah yang ber-istiwa' diatas Arsy : "Al-Istiwa' maknanya diketahui, kaifiyat (substansinya) tidak diketahui, iman kepadanya adalah wajib dan bertanya tentang kaifiyat sifat tersebut adalah bid’ah". Dan ini berlaku untuk seluruh sifat-sifat Allah yang lainnya. 

=======================

Sumber :

Al Wajîz fi Aqîdah as Salaf ash Shâlih, Ahl as Sunnah wa al Jamâ'ah, Abdullah bin Abdul Hamid al Atsari         
                                                 

0 tanggapan:

Posting Komentar