Sponsors

20 Juli 2012

Yang Boleh Memilih antara Berbuka atau Berpuasa

Dalam fiqh Islam, setiap muslim yang baligh, berakal, sehat, mukim dan suci dari haid dan nifas bagi kaum wanita, wajib untuk berpuasa di bulan Ramadhan dan tidak boleh berbuka tanpa sebuah uzur yang syar'i. Nah, ada sebagian orang yang diizinkan Syari'at untuk memilih berbuka atau tetap berpuasa pada bulan Ramadhan karena uzurnya tersebut. Siapa saja mereka itu? Berikut ini adalah pembahasannya. Semoga bermanfaat.

---OOOOO---

1. Orang Sakit

Para ulama secara umum telah bersepakat tentang bolehnya seorang yang sakit untuk berbuka dan menggantinya jika telah sembuh. Allah Ta’ala berfirman :

و من كان مريضا أو على سفر فعدة من أيام أخر

Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajib baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu pada hari-hari yang lain”. [QS. 2 : 185]

Orang yang sakit memiliki tiga keadaan :

a. Sakitnya ringan dan tidak berpengaruh pada puasanya seperti pilek ringan, sakit kepala ringan, sakit gigi dan yang semacamnya. Yang seperti ini tidak boleh baginya untuk berbuka.

b. Sakitnya bertambah parah atau semakin lama untuk sembuh dan berat baginya berpuasa tapi tidak sampai membahayakan dirinya. Keadaan yang seperti ini dianjurkan baginya berbuka dan makruh baginya berpuasa.

c. Sangat berat baginya berpuasa dan bisa menyebabkan bahaya untuk dirinya. Kasus seperti ini haram baginya untuk berpuasa. Allah Ta’ala berfirman :

و لا تقتلوا أنفسكم

Dan janganlah kamu membunuh dirimu”. [QS. 3 : 29]   


2. Musafir

Disyari’atkan bagi musafir –dalam perjalanan yang dibolehkan baginya mengqashar shalat- untuk berbuka dengan dalil firman Allah :

و من كان مريضا أو على سفر فعدة من أيام أخر

Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajib baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu pada hari-hari yang lain”. [QS. 2 : 185]

Jika seorang musafir berpuasa, maka puasanya sah. Ini adalah mazhab jumhur Sahabat, Tabi’in dan para Imam yang empat. Sementara diriwayatkan dari Abu Hurairah, Ibnu Umar dan Ibnu Abbas –dan ini juga mazhab Imam Ibnu Hazm- bahwa puasanya tidak sah dan musafir wajib mengqadha’ jika dia berpuasa dalam safarnya. Diriwayatkan pula pendapat tentang kemakruhannya, namun pendapat jumhur lebih kuat.


3. Orang yang telah Lanjut Usia dan Orang Sakit yang tidak bisa Diharapkan lagi Kesembuhannya

Ulama telah bersepakat bahwa orang-orang yang telah lanjut usia dan tidak mampu untuk berpuasa, boleh baginya untuk berbuka dan tidak ada kewajiban mengqadha’. Kemudian mereka berselisih apa yang wajib baginya jika dia berbuka?

Jumhur mengatakan ; wajib baginya memberi makan satu orang miskin bagi setiap satu hari yang ditinggalkan. Sementara Imam Malik berpendapat tidak wajib baginya memberi makan tersebut, hanya saja beliau menganggapnya sunnah. Dan pendapat jumhur lebih kuat.

Adapun orang sakit yang tidak mungkin diharapkan lagi kesembuhannya, maka hukumnya sama dengan orang yang telah lanjut usia.


4. Wanita Hamil dan Wanita Menyusui

Jika seorang wanita hamil khawatir terhadap janinnya, dan seorang wanita yang sedang menyusui khawatir akan bayi susuannya jika dia berpuasa karena kekurangan air susu dan sebagainya disebabkan oleh puasa, maka tidak ada perselisihan diantara ulama tentang bolehnya bagi kedua wanita tersebut untuk berbuka. Dalilnya sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam :

إن الله عز و جل وضع عن المسافر شطر الصلاة، و عن المسافر و الحامل و المرضع الصوم

Sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla telah meringankan bagi musafir separuh shalat, dan memberi keringanan bagi musafir, wanita hamil dan wanita menyusui dalam masalah puasa”. [Hadits hasan diriwayatkan oleh Imam Ahmad]

Akan tetapi, ulama berselisih tentang kewajiban kedua wanita tersebut kalau mereka berbuka dan tidak berpuasa di bulan Ramadhan.

---OOOOO---

Apa yang Wajib bagi Wanita Hamil dan Wanita Menyusui Ketika Berbuka di Bulan Ramadhan


Ada lima pendapat ulama dalam masalah ini :

Pertama; wajib bagi keduanya qadha’ dan memberi makan seorang miskin untuk setiap hari yang ditinggalkan puasanya. Ini adalah pendapat para Imam; Malik, asy Syafi’i dan Ahmad.
Menurut mazhab Syafi’iyah dan Hanbali, jika keduanya berbuka karena khawatir terhadap dirinya sendiri, maka yang wajib baginya hanyalah qadha’ (!!)

Kedua; Wajib baginya qadha’. Inilah mazhab al Auza’i, ats Tsauri, Abu Hanifah dan sahabat-sahabatnya, Abu Tsaur dan Abu Ubaid. Mereka berdalil dengan persamaan yang disebutkan antara wanita hamil/ menyusui dengan musafir dalam hadits yang disebutkan diatas, atau mengqiyaskannya dengan orang sakit atau musafir.

Ketiga; wajib bagi keduanya memberi makan saja tanpa mengqadha’. Inilah pendapat Ibnu Abbas dan Ibnu Umar, dan ini adalah mazhab Ishaq dan dipilih oleh Syaikh al Albany.

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa beliau berkata : “Diberikan keringanan bagi seorang laki-laki yang lanjut usia dan seorang wanita yang lanjut usia dalam masalah tersebut, sementara mereka mampu berpuasa. Mereka berdua boleh berbuka jika menginginkannya dan memberi makan seorang miskin bagi setiap hari yang ditinggalkan, dan tida ada kewajiban qadha’ atas mereka berdua. Kemudia hal itu di-nasakh (dihapus hukumnya) dalam ayat ini :

فمن شهد منكم الشهر فليصمه

Siapa diantara kalian yang menyaksikan bulan tersebut (di negerinya), maka hendaklah dia berpuasa”. [QS. Al Baqarah ayat 185].

Maka telah tetap hukum bagi laki-laki dan perempuan yang telah lanjut usia jika mereka tidak mampu lagi berpuasa, dan (demikian pula) wanita hamil dan wanita menyusui jika mereka berdua khawatir, mereka memberi makan satu orang miskin bagi setiap hari tersebut”. [Diriwayatkan oleh Ibnul Jarud (381) dan al Baihaqi (IV/ 230) dengan sanad yang shahih]

Perkataan Ibnu Abbas : “telah tetap”, memberikan gambaran bahwa hukum memberi makan tersebut disyariatkan bagi orang yang tidak mampu berpuasa sebagaimana disyariatkan juga bagi orang tua yang masih mampu berpuasa. Kemudian hukum bagi orang yang masih mampu berpuasa dimansukh dan hukum bagi yang tidak mampu berpuasa tetap berlaku, yaitu dengan memberi makan satu orang miskin bagi setiap ahri yang ditinggalkan, dan hukum tersebut berlaku juga bagi wanita hamil dan menyusui.

Dari Nafi’, ia berkata : “Puteri Ibnu Umar bersuamikan seorang laki-laki dari Quraisy, dan ia sedang hamil. Ia ditimpa dahaga yang berat saat bulan Ramadhan. Maka Ibnu Umar menyuruhnya untuk berbuka dan memberi makan satu orang miskin bagi setiap hari tersebut”. [Diriwayatkan oleh Imam ad Daruquthni (II/ 207) dengan sanad yang shahih]

Keempat; wajib mengqadha’ bagi wanita hamil dan memberi makan bagi wanita yang sedang menyusui. Pendapat ini adalah perkataan Imam Malik dan satu pendapat dalam mazhab Syafi’iyah.

Kelima; tidak wajib bagi keduanya qadha’ dan tidak pula memberi makan, dan ini adalah mazhab Imam Ibnu Hazm.

Pendapat yang rajih, wallahu a’lam, adalah pendapat yang ketiga, yaitu memberi makan satu orang miskin bagi setiap hari yang ditinggalkan. Karena ini adalah pendapat Ibnu Abbas dan Ibnu Umar, dan tidak diketahui ada sahabat yang menyelisihi mereka dalam persoalan ini.

--------------------------

Sumber :

Shahîh Fiqh as Sunnah wa Adillatuhu wa Taudhîh Madzâhib al A-immah                       

0 tanggapan:

Posting Komentar