Kita telah menyebutkan tentang perkara-perkara yang membatalkan puasa dan mewajibkan qadha' bagi pelakunya. Pada tulisan ini, akan dijelaskan sebuah perkara yang membatalkan puasa dan mewajibkan qadha' sekaligus kaffarah yang sangat berat, yaitu bersetubuh (jima').
Seseorang yang melakukan persetubuhan di siang hari Ramadhan dengan sadar, sengaja dan karena pilihan, maka dia telah melakukan salah satu dari dosa-dosa besar dan wajib membayar kaffarah disamping kewajiban mengqadha' puasanya tersebut menurut pendapat jumhur ulama fiqh, termasuk para Imam yang Empat, rahimahumullahu.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata : Ketika kami sedang duduk-duduk disisi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, tiba-tiba datanglah seorang laki-laki. Ia berkata, “Wahai Rasulullah, aku telah binasa!”
Beliau bertanya, “Ada apa denganmu?”
“Aku telah menyetubuhi istriku dan aku dalam keadaan berpuasa!”
“Apakah engkau bisa mendapatkan budak yang akan engkau bebaskan?”
“Tidak ada”.
“Apakah engkau mampu berpuasa dua bulan berturut-turut?”
“Tidak mampu”
“Apakah engkau mampu memberi makan 60 orang miskin?”
“Tidak”.
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam terdiam. Ketika kami dalam keadaan demikian, dibawakan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sebuah tempat berisi kurma. Beliau pun bersabda, “Dimana orang yang bertanya tadi?”
Ia berkata, “Saya!”
Beliau berkata, “Ambillah ini dan bersedekahlah dengannya”
Orang itu berkata, “Untuk orang yang lebih miskin dariku wahai Rasulullah?! Demi Allah, tidak ada penghuni rumah diantara dua sisi Madinah yang lebih miskin dari keluargaku”.
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pun tertawa sampai nampak gigi taringnya. Beliau akhirnya berkata, “Berikanlah makan untuk keluargamu”. [Terjemah HR. al Bukhary dan Muslim].
Dengan dalil hadits ini, jumhur ulama berpendapat bahwa seorang yang berpuasa dan melakukan persetubuhan di siang hari dengan sengaja, maka puasanya rusak dan dia wajib membayar kaffarah dan mengqadha’ puasanya, baik keluar maninya atau tidak keluar.
Sementara Imam Abu Muhammad ibnu Hazm rahimahullah berpendapat bahwa yang wajib baginya hanyalah kaffarah dan tidak mengqadha’.
******
Apakah Kaffarah Tersebut Wajib Secara Berurutan?
Jumhur ulama mewajibkan kaffarah tersebut secara berurutan. Maka tidak boleh seseorang membayar kaffarah dengan berpuasa 2 bulan berturut-turut kecuali setelah dia tidak mampu untuk membebaskan budak, dan tidak boleh memberi makan 60 orang miskin kecuali setelah dia tidak mampu untuk berpuasa 2 bulan tersebut. Pendapat lebih kuat dan lebih dekat kepada kehati-hatian. Wallahu a'lam.
******
Apakah Istri Juga Wajib Membayar Kaffarah?
Dalam hadits Abu Hurairah diatas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan laki-laki tersebut untuk membayar kaffarah dan beliau tidak menyebutkan apa-apa tentang wanita. Karena itulah ulama berselisih tentang istri yang digauli suaminya tersebut, apakah dia wajib membayar kaffarah sebagaimana halnya laki-laki? Ulama berbeda pendapat tentang masalah ini kepada tiga pendapat :
Pertama; tidak ada kaffarah untuknya secara mutlak. Ini adalah mazhab Imam asy Syafi’i dan satu pendapat Imam Ahmad.
Kedua; wanita tersebut membayar kaffarah sebagaimana halnya sang suami. Ini adalah pendapat jumhur ulama; Abu Hanifah, Malik, satu pendapat dari Imam asy Syafi’i dan riwayat yang paling shahih dari Imam Ahmad dengan sedikit perbedaan dalam hal jika wanita tersebut seorang wanita merdeka, budak atau dipaksa.
Ketiga; cukup bagi mereka berdua satu kaffarah kecuali jika kaffarahnya dalam bentuk puasa, maka itu wajib untuk keduanya. Dan ini adalah mazhab Imam al Auza’i rahimahullah.
Diantara ketiga pendapat tersebut, pendapat jumhur lebih kuat walaupun pendapat pertama pun tidak jauh dari kebenaran.
******
Apakah Kaffarah Tersebut Gugur karena Kemiskinan Pelakunya?
Ulama berbeda pendapat tentang masalah ini. Jumhur ulama mengatakan bahwa kaffarah tersebut tidak gugur karena tidak ada dalil yang mengisyaratkan itu dalam hadits. Bahkan yang bisa dipahami dari hadits, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam tetap mewajibkannya ketika beliau menanyakan tingkatan yang paling rendah dalam kaffarah, yaitu memberi makan, orang itu menjawab : "Tidak ada"; beliau diam dan tidak membebaskannya dari kewajiban. Hukum asalnya, kewajiban itu tetap ada , dan juga dengan mengqiyaskannya dengan seluruh bentuk kaffarah dan hutang yang tidak gugur hanya dikarenakan kemiskinan dan kefakiran.
Adapun keringanan yang diberikan kepada orang tersebut untuk memberikan makanan kaffarah itu kepada keluarganya, hal itu dikarenakan kaffarah yang dibayarkan oleh orang lain, boleh dimanfaatkan (dimakan) oleh orang yang berkewajiban membayar kaffarah dan juga diberikannya kepada keluarganya. Wallahu a'lam.
---------------------------
Sumber :
- Taudhîh al Ahkâm min Bulûgh al Marâm
- Shahîh Fiqh as Sunnah wa Adillatuhu wa Taudhîh Madzâhib al A-immah
0 tanggapan:
Posting Komentar