Episode-episode keterpurukan itu nampak sangat jelas. Keterpurukan dalam peradaban, ekonomi, budaya dan kekuatan milter persenjataan seperti menjadi sebuah serial yang terus saja berkelanjutan layaknya sebuah film atau sinetron yang selalu menyediakan episode lanjutan. Banyak yang pesimis dan kecut pada akhirnya. Yah, umat yang -katanya dan seharusnya- gagah menggantungkan 'izzahnya kepada Allah 'azza wa jalla itu dibuat kecut, pesimis dan rendah diri akibat terlalu banyak menyaksikan serial keterpurukannya sendiri. Akibatnya mereka menjadi kaku. Tidak mampu berdiri. Apalagi bergerak.
Padahal sesungguhnya, jenis kelemahan yang paling dahsyat adalah bila kita dengan penuh ketidakberdayaan menerima dan bersandar pada realitas. Realitas bahwa kita telah terpuruk. Realitas bahwa kekuatan hizb asy-syaithan begitu kuat dalam setiap lini. Sungguh, kelemahan yang satu ini sangat menakutkan. Sebab ketika kita semua menjadi manusia yang pasrah dengan kenyataan, lalu tidak berbuat apa-apa untuk menghentikan episode kekalahan ini, maka kita akan menjadi sekumpulan prajurit dan ksatria yang kalah sebelum perang mengibarkan benderanya. Sebab jiwa kita telah takluk, bertekuk lutut. Sekuat apapun senjata penghancurmu, jika jiwamu terkulai, jangan pernah bermimpi meraih kemenangan.
***
Jalan perubahan (baca : jalan kemenangan) itu sendiri sesungguhnya telah begitu jelas bagi umat ini. "Dan sungguh benar-benar Allah pasti akan memenangkan siapa yang menolong (agama)Nya. Sesungguhnya Allah itu Maha Kuat lagi Maha Berkuasa." (Terjemah al-Hajj ayat 40)
Seharusnya seorang mukmin tidak boleh kalah dan takluk di depan keputusasaan dan kerendahdirian. Sebab imam yang ia miliki bersumber dari Sang Rabb yang mengingatkannya, "Dan janganlah kalian merasa hina rendah, dan jangan (pula) kalian bersedih, sebab kalianlah yang tertinggi bila kalian beriman." (Terjemah Alu Imran ayat 139)
Hanya saja, umat ini seharusnya tidak pernah lupa akan satu hal. Bahwa kemenangan dan kebangkitan umat ini tidak akan lahir dengan sebuah mukjizat. Sebab ia akan terlahir melalui proses sunnatullah. Ya, sunnatullah itu tidak akan mungkin dilanggar. Sunnatullah yang disebutkan Allah Ta'ala ketika menyatakan, "Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum hingga mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri." (Terjemah ar-Ra'ad ayat 11)
Jadi, bila engkau bertanya tentang titik awal jalan perubahan dan kemenangan ini, maka jawabnya adalah bahwa ia bermula dari diri kita masing-masing. Adalah sebuah kesalahan yang sangat fatal -dan sangat disayangkan kesalahan ini diyakini sebagai kebenaran oleh sebagian pelaku pergerakan Islam- bila kita ingin mengubah keadaan tanpa terlebih dahulu melakukan perubahan pada diri para pelaku keadaan itu. Melakukan "pembangunan" ulang dan tarbiyah adalah jalan yang paling tepat untuk mengawali sebuah episode perubahan dan kemenangan. Sebab, kunci dasar dari sebuah kebangkitan dan perubahan keadaan ada pada diri manusia. Itulah sebabnya, dakwah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam sepenuhnya tertuju pada pembinaah (tarbiyah) dan pensucian (tazkiyah). "Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang ummiy seorang Rasul, yang membacakan kepada mereka ayat-ayatNya, mensucikan mereka dan mengajarkan kepada mereka al-Kitab dan al-Hikmah (as-Sunnah)." (Terjemah QS. al-Jumu'ah ayat 2)
Manusia dengan segala potensi yang dikaruniakan Allah padanya adalah makhluk yang memiliki kemampuan yang dahsyat untuk membuat sejarah. Itu pula sebabnya mengapa Allah Ta'ala memilih mereka untuk mengemban amanah yang paling berat. Amanah yang telah ditawarkan sebelumnya kepada langit, bumi dan gunung -makhluk yang secara fisik jauh lebih besar dari fisik manusia- lalu mereka semua menolaknya. Manusialah yang kemudian -dengan gagah- menerimanya.
Namun, manusia pulalah yang menjelma menjadi sosok makhluk yang sangat kompleks. Itulah sebabnya, siapa saja yang meyakini pentingnya membina pribadi pembangun peradaban dan kejayaan umat ini harus menyadari betul bahwa jalan tarbiyah dan tazkiyah ini adalah jalan yang panjang. Kesabaranmu harus berlipat. Dan nafasmu harus sangat panjang...
Tapi itulah jalannya. Jangan tergesa-gesa menitinya. Persis seperti saat dimana pada suatu ketika Khabbab bin Al-Arats radhiyallahu 'anhu mengeluh kepada Sang Rasul betapa beratnya penindasan kaum musyrik pada mereka dan mempertanyakan mengapa tidak segera meminta pada Allah untuk dimenangkan... Persis seperti jawab Sang Rasul yang marah memerah wajahnya, "Sungguh generasi sebelum kalian ada yang disisir kepalanya dengan sisir besi hingga terkoyak dan nampak tulang dari dagingnya, namun itu tak memalingkannya dari agamanya... Lalu diletakkan sebuah gergaji diatas kepalanya, kemudian (kepalanya itu) dibelah hingga menjadi dua, namun itu tidak memalingkannya dari agamanya... Sungguh Allah pasti akan menyempurnakan urusan (agama) ini hingga seseorang dapat berkendara dari Shan'a ke Hadhramaut, ia tidak takut kecuali kepada Allah dan serigala yang akan menerkam dombanya... Tapi kalian adalah orang yang tergesa-gesa..." (Terjemah HR. al-Bukhary)
Jadi, itulah jalannya. Dan jalan itu belum pernah berhenti. Jalan itu tidak terhenti walau engkau telah mendapatkan kursimu. Jalan itu tidak akan berakhir saat orang-orangmu telah diangkat menjadi menteri. Tidak. Sebab jalan ini hanya akan berhenti ketika engkau telah mengeluarkan manusia dari penghambaan kepada sesama makhluk menuju penghambaan hanya kepada Sang Pencipta seluruh makhluk. Jalan itu akan usai pada satu titik. Pada titik "TAUHID".
(Oleh : Muhammad Ihsan Zainuddin-Makassar)
0 tanggapan:
Posting Komentar